tukar link

  • era poskolonial
  • copy paste code html

Minggu, 01 Februari 2009

Fiqih Dulu dan Kini

Prolog
Islam dengan berbagai keistimewaannya telah memberikan pengaruh secara luas ke berbagai aspek kehidupan. Sehingga dengan Islam bisa menghantarkan ummat Islam mencapai sebuah peradaban tertinggi dan terlama disepanjang sejarah manusia.
Pengajaran Islam yang dihadirkan dalam bentuk syari'at, memiliki karakter yang komprehensif dan senantiasa relevan dengan jamannya. Karakteristik ini terlihat dari banyaknya dilalah yang bersifat dzhanni dalam nash Al qur'an ataupun Hadits, dibandingkan dilalah yang bersifat qath'i. Adapun lapangan ijtihad hanya berkutat pada nash yang mempunyai saja, karena dalam nash yang bersifat qath'i dilalah para mujtahid tidak bisa untuk memperdebatkannya. Sebagaimana dalam qaidah ushul "Ijtihad tidak dipergunakan, ketika nashnya sudah jelas", maksud nash disini adalah nash yang memiliki qath'i dilalah. Nash yang qath'i yaitu nash yang jelas dan tegas, tidak memiliki pemahaman lebih dari satu. Seperti; kadar pembagian waris, had zina, perintah shalat dll.
Adapun nazh yang dzhanni dilalah yaitu nash yang bisa dita'wil, karena memiliki makna yang luas dan lebih dari satu (ambigu). Seperti kata quru' dalam masa 'Iddah wanita yang ditalak1, kata quru' ini ada yang mengatakan masa haidl dan ada juga yang memaknainya dengan masa bersih.

Definisi Fiqih
Fiqih diambil dari tiga akar kata fa qa dan ha, yang memiliki arti "Mengetahui sesuatu dan memahaminya". Akan tetapi kata fiqih ini di dalam Al Qur'an digunakan pada makna memahami ilmu yang lebih mendalam. Sebagaimana dalam firman Allah Swt. "Maka mengapa orang-orang itu (orang munafiq) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?" (An Nisaa: 78)2.
Secara ishtilah fiqih berarti "Ilmu mengenai hukum-hukum Syari'at yang bersifat amali, yang diambil dari dalil-dalil yang spesifik"3.

Sejarah Perjalanan Fiqih
Syari'at yang diturunkan Allah bagi ummat Islam tidak ada campur tangan budaya ataupun adat, tapi syari'at bukan berarti tidak relevan bagi budaya manusia. Bahkan syari'at membimbing budaya manusia agar lebih bermanfaat lagi, dengan menetapkan taklif yang sesuai dengan fitrah manusia.
Syari'at Islam bersifat sakral dan tidak bisa berubah, tidak sebagaimana yang disangkakan orang-orang bahwa syari'at itu berevolusi. Syari'at Islam adalah asas sekaligus sarana (wasilah), dengan membiarkan sebagian wasilahnya tidak dibatasi, agar dapat relevan disetiap zamannya. Tetapi asas dan tujuannya tetap tidak berubah4.
Kalau begitu apa fungsi fiqih dan ijtihad, jika syari'at tidak berevolusi?. Fiqih beserta ijtihadnya tidak bermaksud untuk mengembangkan syari'at yang sudah sakral, tetapi hendak mengaitkan fenomena baru dengan kaidah (asas) syari'at yang ada. Artinya, fiqih beserta ijtihad bukan untuk membuat hal-hal yang baru dalam syari'at. Fiqih berfungsi untuk menyimpulkan suatu hukum (istinbath hukum) yang bersifat dzhanni dilalah, sedangkan ijtihad merupakan usaha keras para mujtahid dalam menentukan suatu hukum dari fenomena baru agar bisa sampai pada apa yang dikehendaki syari'at (baca: Allah dan Rasullullah).
Karenanya dalam sejarah perjalanan fiqih di setiap dekadepun, syari'at tetap dijadikan asas dan akses dalam menghadapi fenomena. Perkembangan fiqih Islam sudah jauh-jauh hari muncul, Prof. Dr. Muhammad Al Banhâwi rahimahullâh membaginya dalam enam periode5:
1. Fiqih pada masa Nabi Muhammad Saw.
Fiqih pada masa ini dimulai dari awal kenabian Muhammad Saw, sampai wafatnya pada tahun 11 Hijriah. Fiqih pada masa ini tidak membuahkan perbedaan pendapat yang begitu nampak, karena pada masa ini masih memiliki seorang mujtahid yang bebas dari subjektivitas. Fiqih pada masa ini maksudnya ijtihad-ijtihad Nabi dan para sahabat dalam memutuskan suatu perkara. Namun pada masa ini fiqih menjadi sebuah syar'iat, karena hasil ijtihadnya secara langsung dibenarkan oleh Allah Swt. atau oleh Nabi Muhammad Saw..
Muncul sebuah pertanyaan, apakah dengan ijtihad Nabi dan para sahabat berarti menunjukan bahwa ada syari'at di luar Al Qur'an dan As Sunnah?. Para ulama Ushul Fiqih seperti; Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Abu Yusuf dari Madzhab Hanafi, berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. diberi kuasa secara mutlak untuk berijtihad mengenai hukum-hukum syari'ah, dengan tanpa perlu menunggu turunnya wahyu.
Ijtihad Nabi Muhammad beserta para sahabatnya ini merupakan usaha untuk memperepat suatu perkara yang bisa dicintai oleh Allah Swt.. Akan tetapi usaha ijtihad ini tidak selamanya sesuai dengan apa yang diharapkan, sebagaimana ijtihad Rasul mengenai pembibitan kurma.
Bedanya ijtihad pada masa ini dengan masa-masa sesudahnya adalah, ijtihad ini menjadi syari'at karena langsung dikoreksi kembali, baik oleh Nabi sendiri ataupun oleh Allah Swt.. Mengenai ijtihad Rasul tentang pembibitan kurma, hal ini tidak dijadikan syari'at karena Nabi menarik kembali ijtihadnya di awal. Juga ijtihad Nabi mengenai tawanan perang Badar, Allah langsung meluruskan kesalahan ijtihad Nabi dengan firman-Nya dalam surat Al Anfal: 67.
Adapun ijtihad para sahabat pada masa ini telah banyak terjadi, baik ketika berada di hadapan Nabi ataupun tidak diketahui Nabi, yang nantinya ketka Nabi mengetahui beliau langsung menerangkan ijtihad mana yang benar. Sebagaimana dalam kisah Mu'adz yang diutus Nabi ke Yaman untuk menjadi seorang Hakim, Nabi menanyakan dengan apa dia akan menghukumi?, Mu'adz menjawab dengan Al Qur'an, Sunnah atau Berijtihadj jika tidak terdapat dalam keduaanya.
Fiqih pada masa ini memiliki karakter diantaranya:
- Referensi disederhanakan hanya pada Al Qur'an dan Sunnah.
- Ijtihad dikoreksi oleh Nabi atau Allah Swt.
- Ijtihad pada masa ini menjadi penyempurna syari'at dan menjadi bagian dari syari'at.
2. Fiqih pada masa Sahabat
Dalam satu kesempatan Nabi Muhammadd Saw bersabda: "Para sahabat adalah amanah bagi umatku, jika mereka tiada maka akan datang umatku yang dijanjkan" (HR. Muslim). Bertolak dari hadits Nabi ini saya ingin menegaskan bahwa para sahabat adalah sebaik-baiknya ummat Nabi, dan masa inipun merupakan sebaik-baiknya masa.
Fiqih pada masa ini semakin semarak dibandingkan masa sebelumnya, karena sumber yang bisa menjawab permasalahan sudah berada diharibaan Allah Swt. Pada akhirnya para sahabat berijtihad dengan mengenal 'illah (sebab) syari'at yang ada, dengan mengaitkannya terhadap fenomena baru. Disamping juga para sahabat melakukan musyawarah dalam memecahkan suatu perkara, yang mana kita kenal pada saat ini dengan sebutan Ijma'. Yang nantinya Ijma' ini menjadi salah satu perangkat dalam mengistinbath suatu hukum, yaitu Qaul Shahabat.
Disamping para sahabat melakukan ijma', juga para sahabat menggunakan ra'yu pribadi dalam memutuskan suatu hukum. Apalagi pada jaman kekhalifahan Utsman, para sahabat mulai tersebar ke beberapa daerah, sehingga tidak secara langsung memungkinkan untuk menanyakan pada sahabat yang lain. Sebagaimana Umar Ibn Khatthab memutuskan agar meringankan harga mahar bagi istri, lalu disanggah oleh seorang perempuan dengan memberikan suatu ayat dalam surat An Nisaa:20. perempuan tersebut beralasan mahar adalah hak perempuan dalam menetapkannya. Namun, ijma' dan ra'yu yang dilakukan para sahabat ini, tidak lepas dari asas-asas syari'at.
Contoh fiqih yang dihasikan pada masa ini sangat beragam, seperti keputusan Khalifah Abu Bakar ra. untuk memerangi kaum yang tidak membayar zakat. Atau pengkodifikasian Al qur'an pada masa Khalifah Utsman Ibn Affan ra. dll.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Fiqih pada masa ini, khususnya pada masa Khulafa'ur Rasyidin menjadi perangkat istinbath hukum.
- Ijtihad pada masa ini dengan menganalisa 'illah suatu hukum.
- Ijma' (syura') lebih ditekankan dalam memutuskan suatu hukum.
- Referensi ijtihad pada masa ini adalah Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' dan Ra'yu.
3. Fiqih pada masa Tabi'in
Dimulai pada tahun 41 Hijriah sampai akhir abad satu Hijriah. Fiqih pada masa ini semakin berkembang lagi, apalagi pasca Tahkim6 umat Islam saat itu menjadi terbagi kedalam beberapa jama'ah. Disamping pada perjalanan selanjutnya muncul dua madrasah yang ikut mewarnai fiqih.
Tahkim ini sedikit banyaknya mempengaruhi fiqih pada saat itu, meskipun pada awalnya jama'ah-jama'ah itu muncul disebabkan polemik politik. Namun jama'ah-jama'ah tersebut berkembang sampai menyentuh aspek fiqih.
Seperti; Khawarij berijtihad mengkafirkan pelaku dosa sekecil apapun, menjilid penzina baik yang sudah berkeluarga ataupun tidak, dengan alasan memakai dalil surat An Nur:2 dan mengabaikan hadits-hadits Nabi tentang perajaman penzina yang sudah berkeluarga, juga mereka berijtihad membolehkan wasiat kepada orang tua dengan memakai dalil surat Al Baqarah:180 dan menafikan hadits Nabi yang melarang memberi wasiat kepada ahli warits, dll.
Adapun Syi'ah mereka hanya menfsirkan ayat sesuai dengan visi mereka, mereka menolak pendapat diluar golongannya, mereka menolak Qiyas dan Mashalih Mursalah untuk dijadikan perangkat istinbath hukum, Nikah Mut'ah tidak dinasakh, dll.
Namun di sisi lain, masih ada kaum muslimin yang masih memegang teguh syari'at dengan berijtihad tidak keluar dari ranah-ranah syari'at. Mereka inilah yang dijanjikan Allah dengan syurga (lihat QS. At Taubah:100), juga yang disebutkan Nabi sebagai masa yang terbaik setelah masa sahabat7.
Pada masa ini dimulai dikumpulkannya hadits-hadits Nabi atas perintah Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz kepada Imam Az Zuhury, meskipun pengkodifikasiannya belum dikumpulkan secara per-bab. Hal ini dilakukan Khalifah demi menjaga Hadits-hadits Nabi dari bercampurnya dengan hadits-hadits Maudlu'.
Juga, muncul dua madrasah yang memiliki perangkat ijtihad yang berbeda. Yaitu Marasah Ahli Hadits, madrasah ini terletak di Hijaz yang diusung oleh beberapa Tabi'in diantaranya: Said bin Musib, Urwan bin Zubair Sulaiman bin Yasar dll. Mereka berpandangan bahwa di dalam Al Qur'an dan As Sunnah telah terdapat hukum-hukum, karenanya ra'yu tidak bisa dijadikan sebagai perangkat istinbath hukum.
Adapun madrasah Ra'yu terletak di Kuffah-Iraq dengan pengusungnya diantaranya: Al Harits Al A'war, Al Aswad bin Yazd, Masruq bin Amr As Salmani. Mereka berpendapat bahwa syari'at sarat dengan masuk akal, maka akal bisa dijadikan sebagai perangkat istinbath hukum.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Diwarnai oleh beberapa jama'ah yang mengusung keta'ashuban.
- Munculnya dua madrasah
- Munculnya perangkat istinbath hukum baru; Ijma', Qiyas dan Mashalih Mursalah. Meskipun madrasah Hadits menolak Qiyas dan Mashalih Mursalah
- Munculnya Fiqih Asumsi (Iftiradli) hasil pemikiran para Madrasah Ra'yu
- Referensi ijtihad pada masa ini adalah Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' dan Ra'yu (Qiyas dan Mashalih Mursalah).
4. Fiqih pada masa para imam Mujtahidin
Setelah terjadi hiruk pikuknya golongan dalam tubuh Islam, sehingga tidak sedikit telah mewarnai ranah fiqih. Pada masa ini bermunculnya madzhab-madzhab fiqih dan pengkodifikasian khazanah ilmu-ilmu Islam, sehingga masa ini disebut juga sebagai masa kegemilangan fiqih. Atau disebut juga dengan masa Tabi'ut Tabi'in, dimulai dari awal abad ke-dua Hijriah sampai pertengahan abad ke-empat. Masa ini telah disebut-sebut Nabi dalam sebuah sabdanya "Berbahagialah bagi orang yang melihatku dan dia mengimaniku, juga bagi orang yang melihat orang yang pernah melihatku, serta orang yang melihat orang yang pernah melihat orang yang melihatku. Kebahagiaan dan tempat kembali yang baik bagi mereka" (Hadits hasan riwayat Hakim).
Meskipun fiqih sudah mulai dikodifikasi pada masa bani Umayyah, namun Ushul fiqih sebagai asas dari fiqih mulai dirangkum ke dalam satu kitab pada masa ini, sehingga dengan ini para mufaqqih dengan gampang dalam mengistinbath suatu hukum. Meskipun pada dasarnya metodologhy istinbath hukum ini sudah ada pada Nabi Muhammad, namun pada masa ini dirumuskan oleh Imam Asy Syafi'i dalam bukunya "Ar Risaalah".
Karakter fiqih pada masa ini:
- Mendapat sokongan secara penuh dari khalifah. Sehingga pada masa ini dituduh kaum pluralis "fiqih selalu digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya"8. Padahal tuduhan ini tidaklah benar, sebab pada masa ini pemerintah memang menaruh perhatian terhadap ilmu keislaman.
- Bermunculannya madzhab fiqih.
- Pengkodifikasian Ushul Fiqih, sehingga muncul juga istilah-istilah fiqih seperti; wajib, sunat, haram, mandub, mubah, makruh, syarat, rukun, sabab, dll.
- Berkembang kembali fiqih Iftiradli.
- Debatebel para ahli fiqih.
- Banyaknya qadli'ah mu'ashirah.
- Kebebasan berpendapat.
- Banyak menerjemahkan dan mempelajari ilmu-ilmu dan peradaban kuno
- Mengambil 'urf, istihsan, asyar'u man qablana, istishhab, dan saduddara'i sebagai perangkat istinbath hukum.
5. Fiqih pada masa rukud (stagnan) dan semi-taklid
Ini dimulai pada awal pertengahan abad IV H sampai 656 H. Dimana perjalanan fiqih pada masa ini mulai stagnan, karena ummat Islam pada waktu itu terbuai jiwa taklid. Sehingga peristiwa fanatisme golongan terjadi kembali, sebagaimana pernah terjadi pada masa pasca Tahkim. Bedanya, pada masa dulu didasari oleh polemik politik yang merembet pada permasalahan fiqih, sedangkan masa ini didasari oleh fanatisme madzhab fiqih.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Pembelaan masing-masing madzhab.
- Study komparasi sekaligus pentarjihan.
- Lemahnya pemerintahan Abbasiah pada waktu itu, sehingga sokongan pemerintah kepada para fuqaha dalam meriset ilmu terabaikan.
- Munculnya ketidakpercayadirian para ulama dalam berijtihad.
- Merasa cukup dengan ijtihad-ijtihad ulama madzhabnya terdahulu.
- Pengkodifikasian fatwa-fatwa ulama.
- Menciptakan Qawaid Fiqhiah.
6. Fiqih pada masa mengentalnya taklid dan masa geliatnya fiqih kontemporer
Dimulai pada pasca keruntuhan Bagdad oleh pasukan Tatar (656 H) sampai saat ini, merupakan periode mengentalnya taklid mazhab-madzhab dan geliat fiqih kontemporer yang meriset fiqih klasik dan kekinian dengan manhaj studi komparatif.
Periode memuncaknya taklid buta terhadap madzhab-madzhab ini dimulai tahun 656 H, sampai awal abad ke-sepuluh hijriah. Ini terjadi karena Tatar membuang buku-buku di perpustakaan pusat Bagdad yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan ke sungai Dajlah, sehingga kuda-kuda mereka bisa melewati sungai yang besar dengan menjadikan buku-buku sebagai jembatannya. Maka, umat Islam pada waktu itu kehilangan referensi, atau bisa dikatakan peradaban Islam pada waktu itu luluh lantak.
Kemudian pada awal abad ke-sepuluh Hijriah sampai saat ini, fiqih kembali menggeliat. Ditandai dengan sadar akan pentingnya berijtihad, juga maraknya seminar-seminar dan komprensi internasional yang diadakan para ulama dalam mengistinbath hukum. Sebagaimana pada tahun 1384 H Rabithah Alam Islamy mengadakan seminar dengan membentuk Badan Kongres Fiqih, juga pada tahun 1937 M di Lahay diadakan Konferensi Undang-undang Komparatif dengan mengundang Syaikh Al Azhar, Musthafa Al Maraghi, sebagai pembicara. Para hadirin yang pada waktu itu yang kebanyakan non-muslim merasa takjub, ternyata Islam juga memiliki perangkat sosial-politik.

Fiqih Kontemporer
Para ulama saat ini menyadari akan pentingnya fiqih Islam, dalam menyelesaikan permasalahan umat manusia jaman ini. Karena hal ini juga dapat membuktikan kepada umat manusia, bahwa syari'at Islam itu integral dan selalu relevan dengan jamannya.
Fiqih yang dibutuhkan saat ini mesti berkaitan erat dengan objek yang dihadapinya, artinya fiqih beserta perangkat-perangkat istinbath hukumnya mesti mengenal objek ijtihad dengan bantuan ilmu-ilmu lainnya. Seperti dalam membahas hukum menambal selaput dara atau kloning, fiqih tidak dapat menghukuminya tanpa memahami objek dengan bantuan ilmu kedokteran, atau fiqih hendak merumuskan hak-hak asasi manusia yang dimana hal ini mesti memahami dahulu objek dengan kaca mata sosiologi, psikologi atau antrophology.
Juga, fiqih saat ini mesti menghadirkan penyampaian keputusan hukum yang lunak, agar umat tidak serta-merta melarikan diri dengan alasan memberatkan. Hal ini telah diusung oleh DR. Yusuf Qardhawi dengan mengemas fiqih dalam bentuk Fiqhul Aulawiyat (Fiqih Prioritas), dimana beliau mengawali sistematika fiqih dengan pembahasan sosial kemasyarakatan. Dan fiqih mesti melanjutkan pembahasan yang mencakup sosial kemasyarakatan dan politik.
Perangkat Fiqih
Fiqih dapat memiliki metode riset yang jelas dan tajam, dan metode ini disebut para ulama dengan Ushul Fiqih. Secara istilah ushul fiqih diartikan sebagai "Ilmu yang membahas kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum, yang dapat menghantarkan pada pengistinbatan fiqih"9.
Yang dimaksud dengan kaidah di sini adalah, kaidah-kaidah luas yang mencakup partikel-partikel permasalahan. Sehingga seorang mujtahid dapat mengistinbath suatu hukum dengan melihat kaidah-kaidah tersebut. Misalkan dengan melihat kaidah yang berbunyi "Pada asalnya perintah menunjukkan suatu kewajiban", dan dipadankan dengan firman Allah yang berbunyi "Dirikanlah Shalat", seorang mujtahid bisa menyimpulkan bahwa hukum shalat adalah wajib.
Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil umum adalah, sandaran hukum-hukum syari'at. Sandaran hukum ini terbagi dalam dua bagian:
Pertama: Pembagian dalil dipandang dari sepakat dan tidaknya dalam menerima dalil-dalil sebagai sandaran hukum10:
1. Dalil-dalil yang disepakati seluruh umat Islam, yaitu: Al Qur'an da Sunnah.
2. Dalil-dalil yang disepakati jumhur (mayoritas) muslim, yaitu: Ijma'11 dan Qiyas12.
3. Dalil-dalil yang ulama berbeda pendapat dalam penetapannya, yaitu: 'Urf13, Istishhab14, Istihsan15, Mashalih Mursalah16, Syar'u man Qablana17 dan Madzhab Sahabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa dalil-dalil ini dijadikan sandaran-sandaran hukum, dan sebagian lain menolaknya.
Kedua: Pembagian dalil dipandang dari Naql dan Ra'yu:
1. Dalil-dalil yang bersifat Naql yaitu: Kitab dan Sunnah. Kedua dalil ini mencakup; ijma', Madzhab Sahabi, Syar'u man Qablana.
2. Dalil-dalil yang bersifat akal yaitu: Qiyas yang mencakup; Istishhab, Istihsan dan Mashalih Mursalah. (juga termasuk Sadzudz Dzara'i-pen).
Madzhab-madzhab Dalam Fiqih
Telah dikatakan di awal, bahwa lapangan ijtihad terdapat dalam nash yang mempunyai dilalah dzhanni, juga dalam perkara-perkara baru. Sehingga hal ini membuat fiqih sarat dengan perbedaan pendapat, sedangkan pendapat-pendapat ini menjadi suatu madzhab ketika memiliki banyak pendukung.
Madzhab-madzhab fiqih ini diantaranya18:
1. Madzhab-madzhab Syi'ah: Az Zaidiah19, Imamiah Itsna'asyariah20 dan Isma'iliyyah21.
2. Madzhab-madzhab Khawarij: Al Azariqah22, Ash Shafriah23 dan An Najdaat24.
3. Madzhab-madzhab Ahlussunnah: Hanafiah25, Malikiah26, Syafi'iyah27, Hanabilah28, Dzahiriah, Al Auza'i, Hasan Bashri, Sufyan Ats Tsauri, Al Laits Ibn Sa'ad, Abu Tsaur, Ath thabari dan Ishaq bin Rahwiyyah.
Epilog
Syari'at Islam tidak terbatas oleh waktu dan tempat, juga tidak terpengaruh oleh budaya-budaya setempat. Namun, slogan syari'at ini akan dianggap omong kosong jika garapan fiqih direduksi sebatas ubudiah semata. Karenanya tugas kita saat ini adalah menggulirkan kembali roda ijtihad, sehingga fiqih dapat merambah sosial-kemasyarakatan dan politik.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu


1. (Qs. Al Baqarah:228)
2. DR. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz: fii Ushuulil Fiqhy, Beirut, 1996, Mu'assasah Ar Risaalah, h.8.
3. Prof.DR. Muhammad Abdul Fattah Al Banhawi, Taarikh At Tasyrii' Al Islaami, 2001, h. 17
4. DR. Abdul Halim Mahmud, Manhajul Ishlaahil Islaami fil Mujtama', cairo, Maktabah Al Usrah, h.34.
5. Prof.DR. Muhammad Abdul Fattah Al Banhawi, ibid.
6. Ali Ibn Abi Thalib mengutus Abu Musa Al 'Asy'ari, dan Mu'awiyah mengutus Amr Ibn 'Ash, untuk berunding mengenai kekhilafahan. Yang akhirnya kedua'anya sepakat menurunkan Ali Ibn Abi Thalib dari kekhilafahan dan mengembalikan kekhilafahan kepada rakyat.
7. Nabi bersabda: "Sebaik-baik masa adalah masa ku ini, kemudian masa berikutnya dan masa berikutnya"
8. Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 2004, h.8.
9. DR. Abdul Karim Zaidan, Op Cit, h. 11.
10. Ibid, h. 148.
11. Ijma' yaitu "Perkara yang disepakati umat Islam". Ijma' terbagi dua; Ijma' Sharih dan Ijma' sukuty
12. Qiyas yaitu "Menggabungkan perkara yang tidak ada nash yang menghukuminya, dengan perkara yang sudah ada nash yang menghukuminya. Dengan cara menggabungkan keduanya dalam satu 'illah hukum tersebut". Qiyas dibagi kedalam; Qiyas Aula, Qiyas Musawa dan Qiyas Adna..
13. 'Urf yaitu: "Perkara yang sudah menjadi biasa dalm kehidupan sosial, dan diimplementasikan dalam kehidupannya seara perbuatan atau ucapan"
14. Istishhab yaitu: "Menetapkan tetap suatu hukum jika pada awalnya tetap, atau menafikan hukum jika pada awalnya tiada"
15. Istihsan yaitu: "Membiarkan qiyas dengan mengambil dalil yang lebih kuat darinya, baik dari Kitabullah

Nikah Beda Agama

Upaya kaum liberalis dalam menggolkan tujuannya tidak hanya berhenti sampai memberikan pemahaman kepada umat beragama bahwa semua agama itu sama, tetapi mereka melanjutkannya pada tarap praktis seperti; menikahkan muslimin dengan non-muslim yang mereka anggap sebagai Ahlul kitab. Padahal, Allah telah memberikan batasan bahwa umat Islam dilarang menikahi para musyrikin1.

Sedangkan mengenai Ahlul kitab, saya merasa wajib mendefinisikan Ahlul kitab dahulu dengan mengambil definisi yang diterangkan para ulama Islam. Tidak sebagaimana para liberalis mendefinisikannya sebagai “Konsep yang memberi pengakuan tertentu kepada para penganut agama diluar Islam yang memiliki kitab suci”2, lebih jauh lagi mereka mendefinisikannya sebagai: “mereka yang percaya kepada Tuhan dan hari akhir, dan tentunya juga percaya kepada salah seorang nabi dan mengakui adanya kitab suci yang menjadi pegangan mereka. Karena itu, siapa saja yang mengaku pimpinan agamanya sebagai nabi dan mempunyai kitab suci, pengikutnya dapat disebut sebagai Ahli Kitab”. Sehingga dalam keyakinan mereka agama buatan manusiapun mereka anggap sebagai ahlul kitab, karena merekapun memiliki kitab suci, semisal; Budha, Hindu, Kong hu chu, dll

Imam Syafi’i (wafat 204H) dalam kitabnya “Al Umm” menyebutkan definisi Ahlul kitab dengan menyitir ucapan Atha (seorang Tabi’in) yang berkata “Orang Kristen Arab bukan termasuk ahli kitab, ahli kitab adalah keturunan Israel. Yakni orang-orang yang datang kepada mereka kitab Tauret dan Injil. Adapun orang lain yang memeluk agama mereka bukan ahlul kitab”3.

Dari definisi ini dapat disimpulkan bahwa Ahlul kitab adalah orang-orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, adapun Yahudi dan Nashrani yang bukan keturunan bangsa Israel bukanlah termasuk Ahlul kitab. Definisi ini sejalan dengan firman Allah Swt. dalam surat Ash Shaf: 6 yang berbunyi “Dan ketika 'Isa ibnu Maryam berkata: "Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab sebelumku, yaitu Taurat, dan memberi khabar gembira dengan seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad ….". Ucapan Nabi Isa As. ini menegaskan bahwa terbatasnya ajaran yang dibawa oleh Nabi Isa, yaitu hanya untuk Bangsa Israel dan hanya hingga kedatangan Nabi Muhammad Saw.

Di dalam Injilpun terdapat ayat yang menunjukan keterbatasan ajaran Nabi Isa hanya bagi bangsa Israel “Aku diutus hanya kepada domba-domba yang hilang dari umat Israel”4, karena ajaran Nabi-Nabi sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw. yang berjumlah 124.000 Nabi, dibatasi oleh tempat (bangsa) dan waktu. Sedangkan Nabi Isa dibatasi hanya untuk satu bangsa (Israel) dan hanya untuk waktu sampai sebelum diutus Muhammad Saw. Adapun Rasulullah adalah penutup para Nabi yang diutus kepada semua bangsa dan untuk masa yang tidak ditentukan, sebagaimana firman Allah Swt. “Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk rahmat bagi semesta alam”5.

Maka dapat didefinisikan bahwa Ahlul Kitab adalah "Orang yang beragama Yahudi dan Nashrani keturunan bangsa Israel, yang masih ada setelah kedatangan Nabi Muhammad Saw.".

Islam membolehkan muslim laki-laki untuk menikahi wanita Ahlul kitab6, tetapi Islam tidak membolehkan jika muslimah menikahi laki-laki dari Ahlul kitab7. Larangan ini disyari’atkan, agar dapat menjaga aqidah para muslimah dari pengaruh suaminya, karena pengaruh pendidikan suami lebih besar bagi istri ketimbang pengaruh istri bagi suami.

Adapun pembolehannya laki-laki muslim dalam menikahi wanita Ahlul kitab, ini dibatasi oleh syarat umum yang terdapat dalam surat Al Mâidah: 5. Maksudnya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul kitab, jika wanita tersebut termasuk orang yang menjaga kehormatannya (Al Ihshân). Imam Al Qurthubi menyitir ucapan Ibn Abbas dalam menafsirkan kalimat Al Ihshân, beliau berkata “Al Ihshân ditafsirkan sebagai, wanita Ahlul kitab yang suci dan berakal”8.

Tetapi, syarat umum ini masih terikat oleh syarat-syarat khusus yang terdapat di dalam ayat-ayat lainnya. Artinya, laki-laki muslim boleh menikahi wanita Ahlul Kitab jika wanita itu termasuk Al Ihshân (syarat umum) dan termasuk pada syarat-syarat khusus di bawah ini:

1. Wanita Ahlul kitab keturunan bangsa Israel, karena Ahlul kitab adalah mereka yang berasal-usul dari keturunan bangsa Israel9.

2. Wanita Ahlul kitab yang mempercayai ke-Esa-an Allah Swt. dan kerasulan Muhammad Saw10.

Syarat nomor dua ini dimasukkan, karena orang yang menyatakan bahwa Isa atau Uzair adalah anak/tuhan, mereka itu disebut juga para musyrikin sekaligus kafir. Karenanya Abdullah Ibn Umar pernah berkata “Allah mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi orang-orang yang beriman. Dan aku (Ibn Umar) tidak melihat ada kemusyrikan yang lebih besar dari seorang wanita yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa (Yesus), padahal Isa adalah hamba Allah”11. Ahlul kitab yang dimaksud disini adalah mereka yang bermadzhab Arius (dalam Kristen) yang menyatakan dalam Konsili Nikea tahun 325M bahwa “Yesus tidak bersifat azali (azali: ada yang tidak didahului oleh tidak ada), Yesus diciptakan oleh Allah, dia tidak menyamai substansi (jauhar) Allah”. Namun mayoritas madzhab ini diusir, dibunuh dan dibakar buku-bukunya oleh madzhab Athanasius (aqidah trinitas) pada penjagalan yang bernama “Lembaga Inkuisisi”.

Kedua syarat ini tidak berarti mengubah nash qath’i (teks mapan) dalam Al Qur’an yang membolehkan lelaki muslim menikahi wanita Ahlul Kitab, akan tetapi ini adalah upaya mengikat syarat yang umum dengan syarat-syarat yang khusus, agar muslimin tidak salah dalam memilih wanita Ahlul kitab. Upaya pengikatan syarat umum ini telah dilakukan oleh Umar Ibn khathab pada masa kekhilafahannya, beliau melarang Thalhah Ibn Ubaidillah dan Hudzaifah yang hendak menikahi wanita Ahlul kitab. Beliau beralasan, khawatir jika wanita Ahlul kitab yang akan dinikahi Thalhah dan Hudzaifah berkhianat dan keluar dari syarat Al Ihsan, yang telah ditetapkan Allah dalam Al Qur’an12.

Lebih lanjut lagi, Imam Asy Syafi’i menyatakan dalam kitab “Al Umm”nya “Menikahi orang-orang baik (wanita Al Ihshân. pen) dari golongan Ahlul kitab hukumnya halal, meski aku lebih suka orang Islam tidak menikahi mereka. Aku diberitahu Abdul Majid dari Ibn Juraij dari Abu Zubair, bahwa Abu Zubair mendengar Jabir Ibn Abdullah ra. pernah ditanya tentang pria muslim yang menikahi wanita Yahudi atau wanita Nashrani. Jabir menjawab, ‘Aku dan Sa’ad Ibn Abi Waqqash pernah menikahi wanita Ahlul kitab semasa penaklukan Kufah (Irak) oleh karena kami tidak mendapati banyak wanita muslimat di sana ketika itu. Lalu kami kembali ke Madinah, kami menceraikan mereka’. Kata Jabir lagi, ‘Mereka tidak berhak mewarisi harta seorang muslim, dan sebaliknya orang muslim tidak berhak mewarisi harta mereka. Wanita Ahlul kitab boleh dinikahi oleh muslim, tapi wanita muslimah haram dinikahi oleh mereka’,”13.

Dari kisah Jabir ini dapat disimpulkan bahwa, ada dua kondisi yang harus diperhitungkan ketika akan menikahi wanita Ahlul kitab :

Pertama, mereka dalam kondisi masa penaklukan (Al Fath). Artinya, menikahi wanita Ahlul kitab itu ketika Islam menang atas mereka. Jadi, pernikahan itu boleh dilakukan hanya dalam Negara Islam, dimana pemerintahan Islam punya kekuasaan untuk memelihara keluarga muslim. Dan lagi, wanita Ahlul kitab itu berada dalam wilayah negeri Islam.

Kedua, mereka dalam kondisi nyaris tak mendapat wanita muslimah.

Namun, meskipun dua kondisi itu sudah terpenuhi, dua orang sahabat dalam riwayat di atas toh pada akhirnya menceraikan mereka14. Maka penulis cenderung kepada pendapat imam Syafi’i yaitu membolehkan menikahi wanita Ahlul kitab, namun yang sesuai dengan syarat-syarat di atas. Tapi, penulis lebih menyarankan jika orang Islam tidak menikahi mereka, disamping demi menjaga diri dan keluarga dari api neraka15, juga karena masih banyak wanita muslimah yang belum menikah.
Foot Note:

1. QS. Al Baqarah: 221

2. Nurcholish Madjid, dkk. Fiqih Lintas Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, h. 42

3. Asy Syafi'i, Al Umm, Beirut, Dar El Kutub El Ilmiah, Jil. V, h. 11

4. Matius 15:24

5. QS. Al Anbiyâ: 107

6. QS. Al Mâidah: 5

7. QS. Al Mumtahanah: 10

8. Al Qurthubi, Al Jâmi'u Li Ahkâmil Qur'ân, Egypt: Al Maktabah At Taufîqiyyah. Jil. VI, h. 70

9. QS. Ash Shaf: 6

10.QS. Al Baqarah: 221

11. Dr. Rauf Syalabi, Terj; Distorsi Sejarah dan Ajaran YESUS, Jaktim: Pustaka Al Kautsar, 2001, h. 197

12. Yusuf Qardhawi, As Siyâsah Asy Syar’iyyah, Egypt: Maktabah Wahbah, 1997,h. 209

13. Asy Syafi'i, Op cit. Jil. V, h. 10

14. Dr. Rauf Syalabi, Op cit. h. 196
15. QS. At Tahrîm: 6

Menyoal Ta'adudd Az Zaujât (Poligami)

Tidak diragukan lagi, Allah menurunkan syari'at bagi umat manusia, tidak lain hanya untuk kemaslahatan dan kebaikan umatnya. Begitu pula dengan Rasulullah Saw. beliau tidak akan berkata melainkan setelah diwahyukan oleh Allah kepadanya, sehingga hawa nafsu tidak ikut campur dalam setiap kebijakan beliau1.
Apatah daya, terkadang manusia membelot dan membangkang syari'at yang telah ditetapkan oleh agama Islam. Mereka mencoba merasionalisasikan pembelotannya, agar banyak yang merasa kagum dan setuju kepada hasil analisa yang dipaksakannya. Sikap ini telah lama muncul di negeri kita sendiri, salah satunya adalah mereka yang mengatasnamakan Islam liberal.
Berlepas dari apa tujuan mereka melakukan pengkaburan dalam memahami syari'at, yang pasti pemahaman ini sudah banyak meracuni kaum muslimin sempalan. Bahkan sampai-sampai para pembelot ini mereka anggap sebagai para alim, yang harus diikuti dan diperjuangkan setiap fatwanya. Padahal, "Apakah sama orang yang buta dengan orang yang melihat". Maka apakah kamu tidak memikirkan(nya)"2.
Diantara banyaknya cara yang digunakan oleh para pembelot syari'at ini, saya hanya akan membahas dua permasalahan yang sering mereka munculkan di setiap diskusi ataupun buku mereka. Dalam makalah ini saya akan membahas seputar Ta'addud Az Zaujât (Poligini) dilengkapi syubhat-syubhat yang sering mereka lontarkan dalam masalah ini, juga saya akan membahas tentang Nikah beda Agama yang mereka anggap sikap ini adalah aplikasi dari persamaan agama-agama.
Ta'addud Az Zaujât
Ta'addud Az Zaujât telah lama dikenal oleh umat manusia, baik oleh pihak yang membolehkan ataupun dari pihak yang tidak membolehkannya. Pertentangan ini muncul karena manusia tidak paham akan hikmah (Maqâshid) yang terkandung dalam pensyari'atannya, juga karena mereka mendahulukan hawa nafsu dari pada akalnya. Sehingga tidak sedikit ketika kata Ta'addud Az Zaujât dimunculkan ke permukaan, mereka malah mendahulukan prasangka buruk. Seakan-akan Ta'addud Az Zaujât lebih kejam dari pada isu teroris yang sedang hangat pada masa ini, padahal Ta'addud Az Zaujât telah ada dan dipraktikan sebelum adanya risalah kenabian.

I. Ta'addud Az Zaujât pra-Risalah Saw
Ta'addud Az Zaujât sudah dilakukan ratusan tahun sebelum datangnya risalah kenabian Muhammad Saw:
1. Yahudi. Dalam ajaran Yahudi dengan kitab Tauratnya (Perjanjian Lama), terdapat banyak disebutkan para pemimpin dahulu bahkan para Nabi melakukan Ta'addud Az Zaujât. Dalam kitab Tauret disebutkan secara terang-terangan akan pembolehan Ta'addud Az Zaujât, sebut saja Nabi Sulaiman dan Nabi Daud diterangkan memiliki banyak istri3.
2. Nasrani. Begitu pula dengan ajaran Nasrani menyetujui Ta'addud Az Zaujât, karena Nabi Isa As berkata "Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya"4.
3. Jaman Jahiliyyah. Pada masa inipun Ta'addud Az Zaujât malah semakin banyak orang melakukannya, karena mereka lebih mendahulukan hawa nafsu dari pada syari'at ataupun akalnya. Sebab itu ketika risalah kenabian Muhammad Saw mulai diangkat, maka Islam membatasi hawa nafsu umat manusia dengan cara membatasi Ta'addud Az Zaujât hanya sampai empat istri.
Dari rangkaian sejarah ini, kita bisa memiliki kesimpulan bahwa Ta'addud Az Zaujât sesuai dengan fitrah manusia dan merupakan kebutuhan yang dlaruri. Tapi, para pembelot (Munharif) tetap saja akan mencari alasan agar bisa membenarkan perbuatannya.

II. Syubuhât terhadap Ta'addud Az Zaujât
Sebagaimana telah disebutkan di atas, wacana Ta'addud Az Zaujât ini telah membuat hati-hati orang yang lemah imannya menjadi gamang dan malah berbalik menolak. Penolakan ini baik itu muncul dari kaum laki-laki ataupun dari wanita, bahkan kaum wanita sering mengatakan bahwa mereka menolak Ta'addud Az Zaujât karena mereka lebih mengenal sifat kewanitaanya dari pada laki-laki yang hanya ingin mengumbar hawa nafsu saja. Padahal, Allahlah yang menciptakan wanita, Dia lebih mengetahui kepribadian mereka sehingga syari'at Ta'addud Az Zaujât tidak akan sampai memadlaratkan mereka5 "... Katakanlah:"Apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah..."6.
Disini saya akan menyebutkan sebagian syubuhât yang ditujukan para pembelot terhadap Ta'addud Az Zaujât:
1. Ta'addud Az Zauât adalah proses dehumanisasi perempuan:
Dalam menjustifikasi pembelotannya, mereka suka berkata "Dari cara pandang budaya memang menjadi jelas bahwa poligami merupakan proses dehumanisasi perempuan". Dari perkataan ini mereka telah jelas mengatakan bahwa Ta'addud Az Zaujât tidak memanusiakan wanita.
Alasan ini bermula karena mereka tidak paham maqâsid dari Ta'addud Az Zaujât, dan meskipun mereka paham mereka sengaja menutupinya dengan memakai cara pandang budaya dan kepatutan umum (public decency). Padahal public decency di setiap tempat berbeda-beda pandangannya, dan ini satu sama lain akan mengalami pertentangan karena yang membuat adalah manusia. Contohnya, di Amerika menurut public decencynya mengakui bahwa arak hukumnya halal, karena rakyat Amerika menyukainya, apakah umat Islam mesti mengikuti pengakuan seperti ini?!. Mereka seakan-akan memaksakan syari'at mesti mengikuti public decency. Juga mereka tidak menyadari bahwa Islam memiliki public decency tersendiri, yang memiliki sandaran Al Qur'an dan Sunnah yang tidak akan tersentuh dengan subjektivitas.
2. Siapapun tidak akan bisa berbuat adil:
Alasan ke-dua ini mereka ambil dari surat An Nisa ayat 3 dan ayat 129. Meskipun mereka mengambil alasan dari ayat Al Qur'an, mereka tetap lemah alasannya. Karena mereka tidak memahami makna ayat yang disebutkan tadi.
Memang, dalam surat An Nisa ayat ke-3 Allah berfirman "...Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja...". Dan dalam ayat ke 129 Allahpun berfirman "Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian...". Namun maksud dari kedua ayat ini bahwa Islam mewajibkan suami agar bersikap adil kepada istri-istrinya dalam hal memberikan nafkah lahir, akan tetapi berbuat adil diantara para istri dalam hal cinta dan kasih sayang, suami tidak bisa melakukannya7.
Meskipun Allah berfirman bahwa manusia tidak akan bisa berbuat adil dalam masalah hati, tapi Allah menggantikannya agar manusia bisa berbuat adil kepada istri-istrinya dalam perkara dzahir. Dan ini pasti akan bisa dilaksanakan, karena Allah tidak akan memerintahkan suatu syari'at jika manusia tidak mampu mengembannya8. Bahkan dalam ayat-ayatnya yang lain, Allah memerintahkan agar manusia senantiasa berbuat adil9.
3. Nabi Muhammad Saw Melarang Ta'addud Az Zaujât:
Tuduhan mereka ini sekarang diambil dari Sunnah Rasul, mereka berkata "Teks-teks hadis poligami sebenarnya mengarah kepada kritik, pelurusan, dan pengembalian pada prinsip keadilan. Dari sudut ini, pernyataan "poligami itu sunah" sangat bertentangan dengan apa yang disampaikan Nabi. Apalagi dengan melihat pernyataan dan sikap Nabi yang sangat tegas menolak poligami Ali bin Abi Thalib ra. Anehnya, teks hadis ini jarang dimunculkan kalangan propoligami. Padahal, teks ini diriwayatkan para ulama hadis terkemuka: Bukhari, Muslim, Turmudzi, dan Ibn Majah.
Nabi Saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad Saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: "Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku, kupersilakan mengawini putri mereka. Ketahuilah, putriku itu bagian dariku; apa yang mengganggu perasaannya adalah menggangguku juga, apa yang menyakiti hatinya adalah menyakiti hatiku juga. (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, nomor hadis: 9026)".
Teks hadits yang mereka sebutkan ini telah dipotong dengan kebutuhan hawa nafsu mereka, sedangkan teks aslinya adalah:
- حَدَّثَنِي أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، أَخْبَرَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنِ الْوَلِيدِ بْنِ كَثِيرٍ، حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرِو بْنِ حَلْحَلَةَ الدُّؤَلِيُّ، أَنَّ ابْنَ شِهَابٍ، حَدَّثَهُ أَنَّ عَلِيَّ بْنَ الْحُسَيْنِ حَدَّثَهُ أَنَّهُمْ، حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ مِنْ عِنْدِ يَزِيدَ بْنِ مُعَاوِيَةَ مَقْتَلَ الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ رضى الله عنهما لَقِيَهُ الْمِسْوَرُ بْنُ مَخْرَمَةَ فَقَالَ لَهُ هَلْ لَكَ إِلَىَّ مِنْ حَاجَةٍ تَأْمُرُنِي بِهَا قَالَ فَقُلْتُ لَهُ لاَ ‏.‏
قَالَ لَهُ هَلْ أَنْتَ مُعْطِيَّ سَيْفَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَإِنِّي أَخَافُ أَنْ يَغْلِبَكَ الْقَوْمُ عَلَيْهِ وَايْمُ اللَّهِ لَئِنْ أَعْطَيْتَنِيهِ لاَ يُخْلَصُ إِلَيْهِ أَبَدًا حَتَّى تَبْلُغَ نَفْسِي إِنَّ عَلِيَّ بْنَ أَبِي طَالِبٍ خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ عَلَى فَاطِمَةَ فَسَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَخْطُبُ النَّاسَ فِي ذَلِكَ عَلَى مِنْبَرِهِ هَذَا وَأَنَا يَوْمَئِذٍ مُحْتَلِمٌ فَقَالَ ‏"‏ إِنَّ فَاطِمَةَ مِنِّي وَإِنِّي أَتَخَوَّفُ أَنْ تُفْتَنَ فِي دِينِهَا ‏"‏ ‏.‏
قَالَ ثُمَّ ذَكَرَ صِهْرًا لَهُ مِنْ بَنِي عَبْدِ شَمْسٍ فَأَثْنَى عَلَيْهِ فِي مُصَاهَرَتِهِ إِيَّاهُ فَأَحْسَنَ قَالَ ‏"‏ حَدَّثَنِي فَصَدَقَنِي وَوَعَدَنِي فَأَوْفَى لِي وَإِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا وَلَكِنْ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ مَكَانًا وَاحِدًا أَبَدًا ‏"‏ ‏.‏

Hadits yang mereka sebutkan ini tidak menunjukkan bahwa Ta'addud Az Zaujât itu dilarang, karena pelarangan Nabi ini ditujukan kepada Bani Hasyim yang hendak menikahkan putrinya kepada Ali Ibn Abi thalib. Sedangkan wanita yang minta dinikahi Ali tersebut adalah putri dari musuh Allah, inilah yang menyebabkan Nabi tidak rela jika putrinya disatukan dengan anak dari musuh Allah. Juga, hadits ini menegaskan bahwa mertua berhak melarang menantunya yang akan Ta'addud Az Zaujât, meskipun tetap keputusan ini tergantung pilihan menantunya.
4. Nabi lebih lama bermonogami daripada berpoligami:
Berikutnya, alasan yang sering mereka suarakan baik di berbagai web site yang mereka buat, ataupun di media elektronik lainnya, mereka berpendapat "Bayangkan, monogami dilakukan Nabi di tengah masyarakat yang menganggap poligami adalah lumrah. Rumah tangga Nabi Saw bersama istri tunggalnya, Khadijah binti Khuwalid ra, berlangsung selama 28 tahun. Baru kemudian, dua tahun sepeninggal Khadijah, Nabi berpoligami. Itu pun dijalani hanya sekitar delapan tahun dari sisa hidup beliau. Dari kalkulasi ini, sebenarnya tidak beralasan pernyataan "poligami itu sunah".
Saya katakan, yang mesti kita lihat dari sirah nabi ini bukanlah kalkulasi masa nabi bermonogami, tetapi yang dilihat adalah nabi telah melaksanakan anjuran Allah untuk melaksanakan Ta'addud Az Zaujât. Disamping itu Ta'addud Az Zaujât hukumnya mubah (boleh), sehingga Nabi tidak serta merta melaksanakannya, sampai Allah menentukan Nabi agar menikahi perempuan yang lain.

III. Beberapa kemungkinan yang bisa di hadapi para suami
Setelah bersama mempelajari beberapa alasan yang dilontarkan mereka di dalam menolak syari'at Allah, kita bisa mengambil ibrah dari banyak fenomena yang terjadi, dimana fenomena ini mendorong adanya Ta'addud Az Zaujât. Fenomena itu diantaranya:
1. Istri terserang penyakit. Jika sampai istri terserang penyakit yang kronis, sehingga dia tidak bisa melaksanakan tugas sebagai ibu rumah tangganya, mendidik anak-anak dan memberikan hak-hak kepada suami. Apakah layak membiarkan suami terkatung-katung haknya?.
2. Istri mandul. Begitu juga bagaimana jika memiliki istri yang tidak bisa memberikan penerus (mandul), meskipun pengobatan sudah dijalani dengan berbagai cara. Pada suatu masa, perjuangan ini akan berakhir dengan kebosanan, sedangkan keinginan memiliki anak tidak akan hilang. Apakah dengan mengangkat anak angkat lebih baik dari pada memiliki anak dari darah daging sendiri, meskipun itu bukan dari rahim istri pertama?.
3. Wanita akan mengalami masa menopause. Dari salah satu fitrah wanita mereka akan mengalami masa menopause, dan masa ini sangat cepat datangnya yaitu di akhir umur 45 tahun. Setelah masa ini suami akan merasakan kehilangan sebagian haknya sebagai suami, padahal "nafkah batin itu yang menjadi jalan pemuasan nafkah zahir"10. Apakah sang istri akan rela jika suaminya menjadi "Om-Om Senang", ataukah membiarkan suami dan keluarga selamat dari api neraka dengan membiarkannya memiliki istri lain?.
4. Jumlah wanita lebih banyak. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda tentang ciri-ciri dekatnya kiamat salah satunya adalah: "...dan berkurangnya laki-laki serta wanita bertambah, sampai 50 wanita berbanding satu orang (laki-laki)..."11. Juga sebagaimana ucapan Ibn Abbas kepada Sa'id Ibn Jabir "Menikahlah, karena kebaikan umat ini adalah banyaknya jumlah wanita"12. Sabda Nabi dan ucapan Salafunâ Ash Shâlih ini memang terjadi pada masa ini, dimana jumlah penduduk wanita lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki. Apakah lebih baik menelantarkan kaum wanita yang belum menikah tanpa perlindungan dan pendidikan suami, sehingga pada jaman ini sudah banyak para wanita tuna susila?.

A.IV. Membela Syari'at
Dari pelajaran yang telah kita renungkan mengenai masalah Ta'addud Az Zaujât ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ta'addud Az Zaujât sesuai dengan fitrah manusia. Serta itu merupakan hak seorang suami yang telah Allah tetapkan dalam Al qur'an, dan kaum wanita tidak bisa beralasan bahwa dengan adanya Ta'addud Az Zaujât hak-hak mereka telah diperkosa. Padahal sebaliknya, kaum laki-lakilah yang diperkosa haknya jika hal ini dilarang. Disamping itu, memang merupakan syari'at Allah bagi umatnya. Sebagaimana firman-Nya "... maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."13.
Maka selayaknya kita (wanita dan laki-laki) membela syari'at yang telah ditetapkan agama Islam, karena para ulama Islam telah menetapkan murtad bagi orang yang menolak atau membenci sesuatu yang datang dari Kitabullah. Dan mereka yang menolak Ta'addud Az Zaujât, atau yang berpendapat bahwa Ta'addud Az Zaujât merupakan tindakan mendzalimi dan menganiyaya wanita, atau mereka yang membencinya. Maka tidak diragukan lagi kekafiran dan kemurtadan mereka dari agama, sebagaimana firman Allah Swt "Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Allah (al-Qur'an) lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka"14.

A.V. Mengikat Ta'adud Az Zaujât
Syari'at yang ditetapkan oleh Allah Swt dan Rasulullah Saw bisa berdampak negatif, jika dalam menjalankannya lebih mengedepankan hawa nafsu. Karenanya di dalam pensyari'atan pasti ada syarat yang mesti dijalankan juga. Begitupula dalam pensyari'atan Ta'addud Az Zaujât terdapat berbagai syarat agar para kaum lelaki tidak salah dalam bertindak, misalkan mereka bertujuan hanya untuk memenuhi syahwatnya. Syarat-syarat melaksanakan Ta'addud Az Zaujât:15
1. Suami mampu berbuat adil diantara istri-istrinya: sebagaimana firman-Nya "Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja..."
2. Mampu menghadapi segala fitnah dari istri-istri dan tidak menghilangkan hak-hak Allah: sebab Allah telah berfirman "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka..."16
3. Mampu memberi pelayanan yang baik kepada istri-istri: agar tidak berdampak keburukan dan kerusakan terhadap istri-istri, sedangkan Allah tidak menyukai kerusakan. Nabipun pernah bersabda "Wahai para pemuda, barangsiapa yang sudah mampu untuk bâ'ah (jima'), maka menikahlah"17.
4. Mampu memberikan nafkah kepada istri-istri

Epilog
Para Munharif di setiap masa pasti akan ada, bagaimanapun mereka melancarkan misinya, tetap kebenaran akan selamanya terdepan. Maka, tugas kita kali ini adalah menghidupkan kebenaran agar kebathilan tenggelam. "Dan katakanlah:"Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap". Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap"18.


Foot Note:

1 QS. An Najm:3

2 QS. 6:50

3 Samuel 12:8

4 Matius 5:17

5 Muhammad Ibn Abdullah Al Hamûd, Limâdza At Ta'addud?, Saudi Arabia: Dâr Ibn Khuzaimah, 2001, hal.4

6 QS. Al Baqarah: 140

7 Dr. Ahmad Muhammad Al Hûfi, Samâhatul Islam, Egypt: Maktabah Al Usrah, hal. 21

8 QS. Al Baqarah: 286

9 (QS. 4:58) (QS. 5:8&42) (QS. 16:90)

10 Ibnu Yusof, Permata Yang Hilang, Kelantan: Al-Kafilah Enterprise, 1995, hal.3

11 HR. Bukhari no. 5231 dan Muslim no. 2671

12 HR. Bukhari no. 5069

13 QS. An Nisa: 3

14 QS. Muhammad: 9. Muhammad Ibn Abdullah Al Hamûd, Op cit. hal. 11.

15 Abu Mâlik Kamal Ibn As sayid Sâlim, Shahih Fiqh Sunnah, Egypt: Al Maktabah At Taufîqiyyah, 2003, Jil. III, hal. 216

16 QS. At Taghâbun: 14

17 Muttafaq 'Alaih

18 QS. Al Baqarah: 221

Sex Differences in Neurotransmitter Systems

Sex differences in behaviors and other centrally regulated processes have inspired research on structural differences in the brain that might underlie these functional differences. Structural sex differences have been found at almost every level in the brain (1-3). The manner in which such structural differences contribute to functional sex differences is only clear in some cases, notably in sex differences found in the spinal cord and lower brainstem, which contain motomeurons that innervate sexually dimorphic muscles. For example, rats have perineal muscles that are only present in males. These muscles contribute to erection, ejaculation and the deposition of a copulatory plug. They are innervated by motomeurons in the spinal dorsolateral nucleus and the nucleus of the bulbocavemosus, which contain about three times as many motomeurons in males as in females (4). It is more difficult to understand how structural sex differences at