Prolog
Islam dengan berbagai keistimewaannya telah memberikan pengaruh secara luas ke berbagai aspek kehidupan. Sehingga dengan Islam bisa menghantarkan ummat Islam mencapai sebuah peradaban tertinggi dan terlama disepanjang sejarah manusia.
Pengajaran Islam yang dihadirkan dalam bentuk syari'at, memiliki karakter yang komprehensif dan senantiasa relevan dengan jamannya. Karakteristik ini terlihat dari banyaknya dilalah yang bersifat dzhanni dalam nash Al qur'an ataupun Hadits, dibandingkan dilalah yang bersifat qath'i. Adapun lapangan ijtihad hanya berkutat pada nash yang mempunyai saja, karena dalam nash yang bersifat qath'i dilalah para mujtahid tidak bisa untuk memperdebatkannya. Sebagaimana dalam qaidah ushul "Ijtihad tidak dipergunakan, ketika nashnya sudah jelas", maksud nash disini adalah nash yang memiliki qath'i dilalah. Nash yang qath'i yaitu nash yang jelas dan tegas, tidak memiliki pemahaman lebih dari satu. Seperti; kadar pembagian waris, had zina, perintah shalat dll.
Adapun nazh yang dzhanni dilalah yaitu nash yang bisa dita'wil, karena memiliki makna yang luas dan lebih dari satu (ambigu). Seperti kata quru' dalam masa 'Iddah wanita yang ditalak1, kata quru' ini ada yang mengatakan masa haidl dan ada juga yang memaknainya dengan masa bersih.
Definisi Fiqih
Fiqih diambil dari tiga akar kata fa qa dan ha, yang memiliki arti "Mengetahui sesuatu dan memahaminya". Akan tetapi kata fiqih ini di dalam Al Qur'an digunakan pada makna memahami ilmu yang lebih mendalam. Sebagaimana dalam firman Allah Swt. "Maka mengapa orang-orang itu (orang munafiq) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?" (An Nisaa: 78)2.
Secara ishtilah fiqih berarti "Ilmu mengenai hukum-hukum Syari'at yang bersifat amali, yang diambil dari dalil-dalil yang spesifik"3.
Sejarah Perjalanan Fiqih
Syari'at yang diturunkan Allah bagi ummat Islam tidak ada campur tangan budaya ataupun adat, tapi syari'at bukan berarti tidak relevan bagi budaya manusia. Bahkan syari'at membimbing budaya manusia agar lebih bermanfaat lagi, dengan menetapkan taklif yang sesuai dengan fitrah manusia.
Syari'at Islam bersifat sakral dan tidak bisa berubah, tidak sebagaimana yang disangkakan orang-orang bahwa syari'at itu berevolusi. Syari'at Islam adalah asas sekaligus sarana (wasilah), dengan membiarkan sebagian wasilahnya tidak dibatasi, agar dapat relevan disetiap zamannya. Tetapi asas dan tujuannya tetap tidak berubah4.
Kalau begitu apa fungsi fiqih dan ijtihad, jika syari'at tidak berevolusi?. Fiqih beserta ijtihadnya tidak bermaksud untuk mengembangkan syari'at yang sudah sakral, tetapi hendak mengaitkan fenomena baru dengan kaidah (asas) syari'at yang ada. Artinya, fiqih beserta ijtihad bukan untuk membuat hal-hal yang baru dalam syari'at. Fiqih berfungsi untuk menyimpulkan suatu hukum (istinbath hukum) yang bersifat dzhanni dilalah, sedangkan ijtihad merupakan usaha keras para mujtahid dalam menentukan suatu hukum dari fenomena baru agar bisa sampai pada apa yang dikehendaki syari'at (baca: Allah dan Rasullullah).
Karenanya dalam sejarah perjalanan fiqih di setiap dekadepun, syari'at tetap dijadikan asas dan akses dalam menghadapi fenomena. Perkembangan fiqih Islam sudah jauh-jauh hari muncul, Prof. Dr. Muhammad Al Banhâwi rahimahullâh membaginya dalam enam periode5:
1. Fiqih pada masa Nabi Muhammad Saw.
Fiqih pada masa ini dimulai dari awal kenabian Muhammad Saw, sampai wafatnya pada tahun 11 Hijriah. Fiqih pada masa ini tidak membuahkan perbedaan pendapat yang begitu nampak, karena pada masa ini masih memiliki seorang mujtahid yang bebas dari subjektivitas. Fiqih pada masa ini maksudnya ijtihad-ijtihad Nabi dan para sahabat dalam memutuskan suatu perkara. Namun pada masa ini fiqih menjadi sebuah syar'iat, karena hasil ijtihadnya secara langsung dibenarkan oleh Allah Swt. atau oleh Nabi Muhammad Saw..
Muncul sebuah pertanyaan, apakah dengan ijtihad Nabi dan para sahabat berarti menunjukan bahwa ada syari'at di luar Al Qur'an dan As Sunnah?. Para ulama Ushul Fiqih seperti; Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Abu Yusuf dari Madzhab Hanafi, berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. diberi kuasa secara mutlak untuk berijtihad mengenai hukum-hukum syari'ah, dengan tanpa perlu menunggu turunnya wahyu.
Ijtihad Nabi Muhammad beserta para sahabatnya ini merupakan usaha untuk memperepat suatu perkara yang bisa dicintai oleh Allah Swt.. Akan tetapi usaha ijtihad ini tidak selamanya sesuai dengan apa yang diharapkan, sebagaimana ijtihad Rasul mengenai pembibitan kurma.
Bedanya ijtihad pada masa ini dengan masa-masa sesudahnya adalah, ijtihad ini menjadi syari'at karena langsung dikoreksi kembali, baik oleh Nabi sendiri ataupun oleh Allah Swt.. Mengenai ijtihad Rasul tentang pembibitan kurma, hal ini tidak dijadikan syari'at karena Nabi menarik kembali ijtihadnya di awal. Juga ijtihad Nabi mengenai tawanan perang Badar, Allah langsung meluruskan kesalahan ijtihad Nabi dengan firman-Nya dalam surat Al Anfal: 67.
Adapun ijtihad para sahabat pada masa ini telah banyak terjadi, baik ketika berada di hadapan Nabi ataupun tidak diketahui Nabi, yang nantinya ketka Nabi mengetahui beliau langsung menerangkan ijtihad mana yang benar. Sebagaimana dalam kisah Mu'adz yang diutus Nabi ke Yaman untuk menjadi seorang Hakim, Nabi menanyakan dengan apa dia akan menghukumi?, Mu'adz menjawab dengan Al Qur'an, Sunnah atau Berijtihadj jika tidak terdapat dalam keduaanya.
Fiqih pada masa ini memiliki karakter diantaranya:
- Referensi disederhanakan hanya pada Al Qur'an dan Sunnah.
- Ijtihad dikoreksi oleh Nabi atau Allah Swt.
- Ijtihad pada masa ini menjadi penyempurna syari'at dan menjadi bagian dari syari'at.
2. Fiqih pada masa Sahabat
Dalam satu kesempatan Nabi Muhammadd Saw bersabda: "Para sahabat adalah amanah bagi umatku, jika mereka tiada maka akan datang umatku yang dijanjkan" (HR. Muslim). Bertolak dari hadits Nabi ini saya ingin menegaskan bahwa para sahabat adalah sebaik-baiknya ummat Nabi, dan masa inipun merupakan sebaik-baiknya masa.
Fiqih pada masa ini semakin semarak dibandingkan masa sebelumnya, karena sumber yang bisa menjawab permasalahan sudah berada diharibaan Allah Swt. Pada akhirnya para sahabat berijtihad dengan mengenal 'illah (sebab) syari'at yang ada, dengan mengaitkannya terhadap fenomena baru. Disamping juga para sahabat melakukan musyawarah dalam memecahkan suatu perkara, yang mana kita kenal pada saat ini dengan sebutan Ijma'. Yang nantinya Ijma' ini menjadi salah satu perangkat dalam mengistinbath suatu hukum, yaitu Qaul Shahabat.
Disamping para sahabat melakukan ijma', juga para sahabat menggunakan ra'yu pribadi dalam memutuskan suatu hukum. Apalagi pada jaman kekhalifahan Utsman, para sahabat mulai tersebar ke beberapa daerah, sehingga tidak secara langsung memungkinkan untuk menanyakan pada sahabat yang lain. Sebagaimana Umar Ibn Khatthab memutuskan agar meringankan harga mahar bagi istri, lalu disanggah oleh seorang perempuan dengan memberikan suatu ayat dalam surat An Nisaa:20. perempuan tersebut beralasan mahar adalah hak perempuan dalam menetapkannya. Namun, ijma' dan ra'yu yang dilakukan para sahabat ini, tidak lepas dari asas-asas syari'at.
Contoh fiqih yang dihasikan pada masa ini sangat beragam, seperti keputusan Khalifah Abu Bakar ra. untuk memerangi kaum yang tidak membayar zakat. Atau pengkodifikasian Al qur'an pada masa Khalifah Utsman Ibn Affan ra. dll.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Fiqih pada masa ini, khususnya pada masa Khulafa'ur Rasyidin menjadi perangkat istinbath hukum.
- Ijtihad pada masa ini dengan menganalisa 'illah suatu hukum.
- Ijma' (syura') lebih ditekankan dalam memutuskan suatu hukum.
- Referensi ijtihad pada masa ini adalah Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' dan Ra'yu.
3. Fiqih pada masa Tabi'in
Dimulai pada tahun 41 Hijriah sampai akhir abad satu Hijriah. Fiqih pada masa ini semakin berkembang lagi, apalagi pasca Tahkim6 umat Islam saat itu menjadi terbagi kedalam beberapa jama'ah. Disamping pada perjalanan selanjutnya muncul dua madrasah yang ikut mewarnai fiqih.
Tahkim ini sedikit banyaknya mempengaruhi fiqih pada saat itu, meskipun pada awalnya jama'ah-jama'ah itu muncul disebabkan polemik politik. Namun jama'ah-jama'ah tersebut berkembang sampai menyentuh aspek fiqih.
Seperti; Khawarij berijtihad mengkafirkan pelaku dosa sekecil apapun, menjilid penzina baik yang sudah berkeluarga ataupun tidak, dengan alasan memakai dalil surat An Nur:2 dan mengabaikan hadits-hadits Nabi tentang perajaman penzina yang sudah berkeluarga, juga mereka berijtihad membolehkan wasiat kepada orang tua dengan memakai dalil surat Al Baqarah:180 dan menafikan hadits Nabi yang melarang memberi wasiat kepada ahli warits, dll.
Adapun Syi'ah mereka hanya menfsirkan ayat sesuai dengan visi mereka, mereka menolak pendapat diluar golongannya, mereka menolak Qiyas dan Mashalih Mursalah untuk dijadikan perangkat istinbath hukum, Nikah Mut'ah tidak dinasakh, dll.
Namun di sisi lain, masih ada kaum muslimin yang masih memegang teguh syari'at dengan berijtihad tidak keluar dari ranah-ranah syari'at. Mereka inilah yang dijanjikan Allah dengan syurga (lihat QS. At Taubah:100), juga yang disebutkan Nabi sebagai masa yang terbaik setelah masa sahabat7.
Pada masa ini dimulai dikumpulkannya hadits-hadits Nabi atas perintah Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz kepada Imam Az Zuhury, meskipun pengkodifikasiannya belum dikumpulkan secara per-bab. Hal ini dilakukan Khalifah demi menjaga Hadits-hadits Nabi dari bercampurnya dengan hadits-hadits Maudlu'.
Juga, muncul dua madrasah yang memiliki perangkat ijtihad yang berbeda. Yaitu Marasah Ahli Hadits, madrasah ini terletak di Hijaz yang diusung oleh beberapa Tabi'in diantaranya: Said bin Musib, Urwan bin Zubair Sulaiman bin Yasar dll. Mereka berpandangan bahwa di dalam Al Qur'an dan As Sunnah telah terdapat hukum-hukum, karenanya ra'yu tidak bisa dijadikan sebagai perangkat istinbath hukum.
Adapun madrasah Ra'yu terletak di Kuffah-Iraq dengan pengusungnya diantaranya: Al Harits Al A'war, Al Aswad bin Yazd, Masruq bin Amr As Salmani. Mereka berpendapat bahwa syari'at sarat dengan masuk akal, maka akal bisa dijadikan sebagai perangkat istinbath hukum.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Diwarnai oleh beberapa jama'ah yang mengusung keta'ashuban.
- Munculnya dua madrasah
- Munculnya perangkat istinbath hukum baru; Ijma', Qiyas dan Mashalih Mursalah. Meskipun madrasah Hadits menolak Qiyas dan Mashalih Mursalah
- Munculnya Fiqih Asumsi (Iftiradli) hasil pemikiran para Madrasah Ra'yu
- Referensi ijtihad pada masa ini adalah Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' dan Ra'yu (Qiyas dan Mashalih Mursalah).
4. Fiqih pada masa para imam Mujtahidin
Setelah terjadi hiruk pikuknya golongan dalam tubuh Islam, sehingga tidak sedikit telah mewarnai ranah fiqih. Pada masa ini bermunculnya madzhab-madzhab fiqih dan pengkodifikasian khazanah ilmu-ilmu Islam, sehingga masa ini disebut juga sebagai masa kegemilangan fiqih. Atau disebut juga dengan masa Tabi'ut Tabi'in, dimulai dari awal abad ke-dua Hijriah sampai pertengahan abad ke-empat. Masa ini telah disebut-sebut Nabi dalam sebuah sabdanya "Berbahagialah bagi orang yang melihatku dan dia mengimaniku, juga bagi orang yang melihat orang yang pernah melihatku, serta orang yang melihat orang yang pernah melihat orang yang melihatku. Kebahagiaan dan tempat kembali yang baik bagi mereka" (Hadits hasan riwayat Hakim).
Meskipun fiqih sudah mulai dikodifikasi pada masa bani Umayyah, namun Ushul fiqih sebagai asas dari fiqih mulai dirangkum ke dalam satu kitab pada masa ini, sehingga dengan ini para mufaqqih dengan gampang dalam mengistinbath suatu hukum. Meskipun pada dasarnya metodologhy istinbath hukum ini sudah ada pada Nabi Muhammad, namun pada masa ini dirumuskan oleh Imam Asy Syafi'i dalam bukunya "Ar Risaalah".
Karakter fiqih pada masa ini:
- Mendapat sokongan secara penuh dari khalifah. Sehingga pada masa ini dituduh kaum pluralis "fiqih selalu digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya"8. Padahal tuduhan ini tidaklah benar, sebab pada masa ini pemerintah memang menaruh perhatian terhadap ilmu keislaman.
- Bermunculannya madzhab fiqih.
- Pengkodifikasian Ushul Fiqih, sehingga muncul juga istilah-istilah fiqih seperti; wajib, sunat, haram, mandub, mubah, makruh, syarat, rukun, sabab, dll.
- Berkembang kembali fiqih Iftiradli.
- Debatebel para ahli fiqih.
- Banyaknya qadli'ah mu'ashirah.
- Kebebasan berpendapat.
- Banyak menerjemahkan dan mempelajari ilmu-ilmu dan peradaban kuno
- Mengambil 'urf, istihsan, asyar'u man qablana, istishhab, dan saduddara'i sebagai perangkat istinbath hukum.
5. Fiqih pada masa rukud (stagnan) dan semi-taklid
Ini dimulai pada awal pertengahan abad IV H sampai 656 H. Dimana perjalanan fiqih pada masa ini mulai stagnan, karena ummat Islam pada waktu itu terbuai jiwa taklid. Sehingga peristiwa fanatisme golongan terjadi kembali, sebagaimana pernah terjadi pada masa pasca Tahkim. Bedanya, pada masa dulu didasari oleh polemik politik yang merembet pada permasalahan fiqih, sedangkan masa ini didasari oleh fanatisme madzhab fiqih.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Pembelaan masing-masing madzhab.
- Study komparasi sekaligus pentarjihan.
- Lemahnya pemerintahan Abbasiah pada waktu itu, sehingga sokongan pemerintah kepada para fuqaha dalam meriset ilmu terabaikan.
- Munculnya ketidakpercayadirian para ulama dalam berijtihad.
- Merasa cukup dengan ijtihad-ijtihad ulama madzhabnya terdahulu.
- Pengkodifikasian fatwa-fatwa ulama.
- Menciptakan Qawaid Fiqhiah.
6. Fiqih pada masa mengentalnya taklid dan masa geliatnya fiqih kontemporer
Dimulai pada pasca keruntuhan Bagdad oleh pasukan Tatar (656 H) sampai saat ini, merupakan periode mengentalnya taklid mazhab-madzhab dan geliat fiqih kontemporer yang meriset fiqih klasik dan kekinian dengan manhaj studi komparatif.
Periode memuncaknya taklid buta terhadap madzhab-madzhab ini dimulai tahun 656 H, sampai awal abad ke-sepuluh hijriah. Ini terjadi karena Tatar membuang buku-buku di perpustakaan pusat Bagdad yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan ke sungai Dajlah, sehingga kuda-kuda mereka bisa melewati sungai yang besar dengan menjadikan buku-buku sebagai jembatannya. Maka, umat Islam pada waktu itu kehilangan referensi, atau bisa dikatakan peradaban Islam pada waktu itu luluh lantak.
Kemudian pada awal abad ke-sepuluh Hijriah sampai saat ini, fiqih kembali menggeliat. Ditandai dengan sadar akan pentingnya berijtihad, juga maraknya seminar-seminar dan komprensi internasional yang diadakan para ulama dalam mengistinbath hukum. Sebagaimana pada tahun 1384 H Rabithah Alam Islamy mengadakan seminar dengan membentuk Badan Kongres Fiqih, juga pada tahun 1937 M di Lahay diadakan Konferensi Undang-undang Komparatif dengan mengundang Syaikh Al Azhar, Musthafa Al Maraghi, sebagai pembicara. Para hadirin yang pada waktu itu yang kebanyakan non-muslim merasa takjub, ternyata Islam juga memiliki perangkat sosial-politik.
Fiqih Kontemporer
Para ulama saat ini menyadari akan pentingnya fiqih Islam, dalam menyelesaikan permasalahan umat manusia jaman ini. Karena hal ini juga dapat membuktikan kepada umat manusia, bahwa syari'at Islam itu integral dan selalu relevan dengan jamannya.
Fiqih yang dibutuhkan saat ini mesti berkaitan erat dengan objek yang dihadapinya, artinya fiqih beserta perangkat-perangkat istinbath hukumnya mesti mengenal objek ijtihad dengan bantuan ilmu-ilmu lainnya. Seperti dalam membahas hukum menambal selaput dara atau kloning, fiqih tidak dapat menghukuminya tanpa memahami objek dengan bantuan ilmu kedokteran, atau fiqih hendak merumuskan hak-hak asasi manusia yang dimana hal ini mesti memahami dahulu objek dengan kaca mata sosiologi, psikologi atau antrophology.
Juga, fiqih saat ini mesti menghadirkan penyampaian keputusan hukum yang lunak, agar umat tidak serta-merta melarikan diri dengan alasan memberatkan. Hal ini telah diusung oleh DR. Yusuf Qardhawi dengan mengemas fiqih dalam bentuk Fiqhul Aulawiyat (Fiqih Prioritas), dimana beliau mengawali sistematika fiqih dengan pembahasan sosial kemasyarakatan. Dan fiqih mesti melanjutkan pembahasan yang mencakup sosial kemasyarakatan dan politik.
Perangkat Fiqih
Fiqih dapat memiliki metode riset yang jelas dan tajam, dan metode ini disebut para ulama dengan Ushul Fiqih. Secara istilah ushul fiqih diartikan sebagai "Ilmu yang membahas kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum, yang dapat menghantarkan pada pengistinbatan fiqih"9.
Yang dimaksud dengan kaidah di sini adalah, kaidah-kaidah luas yang mencakup partikel-partikel permasalahan. Sehingga seorang mujtahid dapat mengistinbath suatu hukum dengan melihat kaidah-kaidah tersebut. Misalkan dengan melihat kaidah yang berbunyi "Pada asalnya perintah menunjukkan suatu kewajiban", dan dipadankan dengan firman Allah yang berbunyi "Dirikanlah Shalat", seorang mujtahid bisa menyimpulkan bahwa hukum shalat adalah wajib.
Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil umum adalah, sandaran hukum-hukum syari'at. Sandaran hukum ini terbagi dalam dua bagian:
Pertama: Pembagian dalil dipandang dari sepakat dan tidaknya dalam menerima dalil-dalil sebagai sandaran hukum10:
1. Dalil-dalil yang disepakati seluruh umat Islam, yaitu: Al Qur'an da Sunnah.
2. Dalil-dalil yang disepakati jumhur (mayoritas) muslim, yaitu: Ijma'11 dan Qiyas12.
3. Dalil-dalil yang ulama berbeda pendapat dalam penetapannya, yaitu: 'Urf13, Istishhab14, Istihsan15, Mashalih Mursalah16, Syar'u man Qablana17 dan Madzhab Sahabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa dalil-dalil ini dijadikan sandaran-sandaran hukum, dan sebagian lain menolaknya.
Kedua: Pembagian dalil dipandang dari Naql dan Ra'yu:
1. Dalil-dalil yang bersifat Naql yaitu: Kitab dan Sunnah. Kedua dalil ini mencakup; ijma', Madzhab Sahabi, Syar'u man Qablana.
2. Dalil-dalil yang bersifat akal yaitu: Qiyas yang mencakup; Istishhab, Istihsan dan Mashalih Mursalah. (juga termasuk Sadzudz Dzara'i-pen).
Madzhab-madzhab Dalam Fiqih
Telah dikatakan di awal, bahwa lapangan ijtihad terdapat dalam nash yang mempunyai dilalah dzhanni, juga dalam perkara-perkara baru. Sehingga hal ini membuat fiqih sarat dengan perbedaan pendapat, sedangkan pendapat-pendapat ini menjadi suatu madzhab ketika memiliki banyak pendukung.
Madzhab-madzhab fiqih ini diantaranya18:
1. Madzhab-madzhab Syi'ah: Az Zaidiah19, Imamiah Itsna'asyariah20 dan Isma'iliyyah21.
2. Madzhab-madzhab Khawarij: Al Azariqah22, Ash Shafriah23 dan An Najdaat24.
3. Madzhab-madzhab Ahlussunnah: Hanafiah25, Malikiah26, Syafi'iyah27, Hanabilah28, Dzahiriah, Al Auza'i, Hasan Bashri, Sufyan Ats Tsauri, Al Laits Ibn Sa'ad, Abu Tsaur, Ath thabari dan Ishaq bin Rahwiyyah.
Epilog
Syari'at Islam tidak terbatas oleh waktu dan tempat, juga tidak terpengaruh oleh budaya-budaya setempat. Namun, slogan syari'at ini akan dianggap omong kosong jika garapan fiqih direduksi sebatas ubudiah semata. Karenanya tugas kita saat ini adalah menggulirkan kembali roda ijtihad, sehingga fiqih dapat merambah sosial-kemasyarakatan dan politik.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu
1. (Qs. Al Baqarah:228)
2. DR. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz: fii Ushuulil Fiqhy, Beirut, 1996, Mu'assasah Ar Risaalah, h.8.
3. Prof.DR. Muhammad Abdul Fattah Al Banhawi, Taarikh At Tasyrii' Al Islaami, 2001, h. 17
4. DR. Abdul Halim Mahmud, Manhajul Ishlaahil Islaami fil Mujtama', cairo, Maktabah Al Usrah, h.34.
5. Prof.DR. Muhammad Abdul Fattah Al Banhawi, ibid.
6. Ali Ibn Abi Thalib mengutus Abu Musa Al 'Asy'ari, dan Mu'awiyah mengutus Amr Ibn 'Ash, untuk berunding mengenai kekhilafahan. Yang akhirnya kedua'anya sepakat menurunkan Ali Ibn Abi Thalib dari kekhilafahan dan mengembalikan kekhilafahan kepada rakyat.
7. Nabi bersabda: "Sebaik-baik masa adalah masa ku ini, kemudian masa berikutnya dan masa berikutnya"
8. Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 2004, h.8.
9. DR. Abdul Karim Zaidan, Op Cit, h. 11.
10. Ibid, h. 148.
11. Ijma' yaitu "Perkara yang disepakati umat Islam". Ijma' terbagi dua; Ijma' Sharih dan Ijma' sukuty
12. Qiyas yaitu "Menggabungkan perkara yang tidak ada nash yang menghukuminya, dengan perkara yang sudah ada nash yang menghukuminya. Dengan cara menggabungkan keduanya dalam satu 'illah hukum tersebut". Qiyas dibagi kedalam; Qiyas Aula, Qiyas Musawa dan Qiyas Adna..
13. 'Urf yaitu: "Perkara yang sudah menjadi biasa dalm kehidupan sosial, dan diimplementasikan dalam kehidupannya seara perbuatan atau ucapan"
14. Istishhab yaitu: "Menetapkan tetap suatu hukum jika pada awalnya tetap, atau menafikan hukum jika pada awalnya tiada"
15. Istihsan yaitu: "Membiarkan qiyas dengan mengambil dalil yang lebih kuat darinya, baik dari Kitabullah
Islam dengan berbagai keistimewaannya telah memberikan pengaruh secara luas ke berbagai aspek kehidupan. Sehingga dengan Islam bisa menghantarkan ummat Islam mencapai sebuah peradaban tertinggi dan terlama disepanjang sejarah manusia.
Pengajaran Islam yang dihadirkan dalam bentuk syari'at, memiliki karakter yang komprehensif dan senantiasa relevan dengan jamannya. Karakteristik ini terlihat dari banyaknya dilalah yang bersifat dzhanni dalam nash Al qur'an ataupun Hadits, dibandingkan dilalah yang bersifat qath'i. Adapun lapangan ijtihad hanya berkutat pada nash yang mempunyai saja, karena dalam nash yang bersifat qath'i dilalah para mujtahid tidak bisa untuk memperdebatkannya. Sebagaimana dalam qaidah ushul "Ijtihad tidak dipergunakan, ketika nashnya sudah jelas", maksud nash disini adalah nash yang memiliki qath'i dilalah. Nash yang qath'i yaitu nash yang jelas dan tegas, tidak memiliki pemahaman lebih dari satu. Seperti; kadar pembagian waris, had zina, perintah shalat dll.
Adapun nazh yang dzhanni dilalah yaitu nash yang bisa dita'wil, karena memiliki makna yang luas dan lebih dari satu (ambigu). Seperti kata quru' dalam masa 'Iddah wanita yang ditalak1, kata quru' ini ada yang mengatakan masa haidl dan ada juga yang memaknainya dengan masa bersih.
Definisi Fiqih
Fiqih diambil dari tiga akar kata fa qa dan ha, yang memiliki arti "Mengetahui sesuatu dan memahaminya". Akan tetapi kata fiqih ini di dalam Al Qur'an digunakan pada makna memahami ilmu yang lebih mendalam. Sebagaimana dalam firman Allah Swt. "Maka mengapa orang-orang itu (orang munafiq) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?" (An Nisaa: 78)2.
Secara ishtilah fiqih berarti "Ilmu mengenai hukum-hukum Syari'at yang bersifat amali, yang diambil dari dalil-dalil yang spesifik"3.
Sejarah Perjalanan Fiqih
Syari'at yang diturunkan Allah bagi ummat Islam tidak ada campur tangan budaya ataupun adat, tapi syari'at bukan berarti tidak relevan bagi budaya manusia. Bahkan syari'at membimbing budaya manusia agar lebih bermanfaat lagi, dengan menetapkan taklif yang sesuai dengan fitrah manusia.
Syari'at Islam bersifat sakral dan tidak bisa berubah, tidak sebagaimana yang disangkakan orang-orang bahwa syari'at itu berevolusi. Syari'at Islam adalah asas sekaligus sarana (wasilah), dengan membiarkan sebagian wasilahnya tidak dibatasi, agar dapat relevan disetiap zamannya. Tetapi asas dan tujuannya tetap tidak berubah4.
Kalau begitu apa fungsi fiqih dan ijtihad, jika syari'at tidak berevolusi?. Fiqih beserta ijtihadnya tidak bermaksud untuk mengembangkan syari'at yang sudah sakral, tetapi hendak mengaitkan fenomena baru dengan kaidah (asas) syari'at yang ada. Artinya, fiqih beserta ijtihad bukan untuk membuat hal-hal yang baru dalam syari'at. Fiqih berfungsi untuk menyimpulkan suatu hukum (istinbath hukum) yang bersifat dzhanni dilalah, sedangkan ijtihad merupakan usaha keras para mujtahid dalam menentukan suatu hukum dari fenomena baru agar bisa sampai pada apa yang dikehendaki syari'at (baca: Allah dan Rasullullah).
Karenanya dalam sejarah perjalanan fiqih di setiap dekadepun, syari'at tetap dijadikan asas dan akses dalam menghadapi fenomena. Perkembangan fiqih Islam sudah jauh-jauh hari muncul, Prof. Dr. Muhammad Al Banhâwi rahimahullâh membaginya dalam enam periode5:
1. Fiqih pada masa Nabi Muhammad Saw.
Fiqih pada masa ini dimulai dari awal kenabian Muhammad Saw, sampai wafatnya pada tahun 11 Hijriah. Fiqih pada masa ini tidak membuahkan perbedaan pendapat yang begitu nampak, karena pada masa ini masih memiliki seorang mujtahid yang bebas dari subjektivitas. Fiqih pada masa ini maksudnya ijtihad-ijtihad Nabi dan para sahabat dalam memutuskan suatu perkara. Namun pada masa ini fiqih menjadi sebuah syar'iat, karena hasil ijtihadnya secara langsung dibenarkan oleh Allah Swt. atau oleh Nabi Muhammad Saw..
Muncul sebuah pertanyaan, apakah dengan ijtihad Nabi dan para sahabat berarti menunjukan bahwa ada syari'at di luar Al Qur'an dan As Sunnah?. Para ulama Ushul Fiqih seperti; Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad, Abu Yusuf dari Madzhab Hanafi, berpendapat bahwa Nabi Muhammad Saw. diberi kuasa secara mutlak untuk berijtihad mengenai hukum-hukum syari'ah, dengan tanpa perlu menunggu turunnya wahyu.
Ijtihad Nabi Muhammad beserta para sahabatnya ini merupakan usaha untuk memperepat suatu perkara yang bisa dicintai oleh Allah Swt.. Akan tetapi usaha ijtihad ini tidak selamanya sesuai dengan apa yang diharapkan, sebagaimana ijtihad Rasul mengenai pembibitan kurma.
Bedanya ijtihad pada masa ini dengan masa-masa sesudahnya adalah, ijtihad ini menjadi syari'at karena langsung dikoreksi kembali, baik oleh Nabi sendiri ataupun oleh Allah Swt.. Mengenai ijtihad Rasul tentang pembibitan kurma, hal ini tidak dijadikan syari'at karena Nabi menarik kembali ijtihadnya di awal. Juga ijtihad Nabi mengenai tawanan perang Badar, Allah langsung meluruskan kesalahan ijtihad Nabi dengan firman-Nya dalam surat Al Anfal: 67.
Adapun ijtihad para sahabat pada masa ini telah banyak terjadi, baik ketika berada di hadapan Nabi ataupun tidak diketahui Nabi, yang nantinya ketka Nabi mengetahui beliau langsung menerangkan ijtihad mana yang benar. Sebagaimana dalam kisah Mu'adz yang diutus Nabi ke Yaman untuk menjadi seorang Hakim, Nabi menanyakan dengan apa dia akan menghukumi?, Mu'adz menjawab dengan Al Qur'an, Sunnah atau Berijtihadj jika tidak terdapat dalam keduaanya.
Fiqih pada masa ini memiliki karakter diantaranya:
- Referensi disederhanakan hanya pada Al Qur'an dan Sunnah.
- Ijtihad dikoreksi oleh Nabi atau Allah Swt.
- Ijtihad pada masa ini menjadi penyempurna syari'at dan menjadi bagian dari syari'at.
2. Fiqih pada masa Sahabat
Dalam satu kesempatan Nabi Muhammadd Saw bersabda: "Para sahabat adalah amanah bagi umatku, jika mereka tiada maka akan datang umatku yang dijanjkan" (HR. Muslim). Bertolak dari hadits Nabi ini saya ingin menegaskan bahwa para sahabat adalah sebaik-baiknya ummat Nabi, dan masa inipun merupakan sebaik-baiknya masa.
Fiqih pada masa ini semakin semarak dibandingkan masa sebelumnya, karena sumber yang bisa menjawab permasalahan sudah berada diharibaan Allah Swt. Pada akhirnya para sahabat berijtihad dengan mengenal 'illah (sebab) syari'at yang ada, dengan mengaitkannya terhadap fenomena baru. Disamping juga para sahabat melakukan musyawarah dalam memecahkan suatu perkara, yang mana kita kenal pada saat ini dengan sebutan Ijma'. Yang nantinya Ijma' ini menjadi salah satu perangkat dalam mengistinbath suatu hukum, yaitu Qaul Shahabat.
Disamping para sahabat melakukan ijma', juga para sahabat menggunakan ra'yu pribadi dalam memutuskan suatu hukum. Apalagi pada jaman kekhalifahan Utsman, para sahabat mulai tersebar ke beberapa daerah, sehingga tidak secara langsung memungkinkan untuk menanyakan pada sahabat yang lain. Sebagaimana Umar Ibn Khatthab memutuskan agar meringankan harga mahar bagi istri, lalu disanggah oleh seorang perempuan dengan memberikan suatu ayat dalam surat An Nisaa:20. perempuan tersebut beralasan mahar adalah hak perempuan dalam menetapkannya. Namun, ijma' dan ra'yu yang dilakukan para sahabat ini, tidak lepas dari asas-asas syari'at.
Contoh fiqih yang dihasikan pada masa ini sangat beragam, seperti keputusan Khalifah Abu Bakar ra. untuk memerangi kaum yang tidak membayar zakat. Atau pengkodifikasian Al qur'an pada masa Khalifah Utsman Ibn Affan ra. dll.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Fiqih pada masa ini, khususnya pada masa Khulafa'ur Rasyidin menjadi perangkat istinbath hukum.
- Ijtihad pada masa ini dengan menganalisa 'illah suatu hukum.
- Ijma' (syura') lebih ditekankan dalam memutuskan suatu hukum.
- Referensi ijtihad pada masa ini adalah Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' dan Ra'yu.
3. Fiqih pada masa Tabi'in
Dimulai pada tahun 41 Hijriah sampai akhir abad satu Hijriah. Fiqih pada masa ini semakin berkembang lagi, apalagi pasca Tahkim6 umat Islam saat itu menjadi terbagi kedalam beberapa jama'ah. Disamping pada perjalanan selanjutnya muncul dua madrasah yang ikut mewarnai fiqih.
Tahkim ini sedikit banyaknya mempengaruhi fiqih pada saat itu, meskipun pada awalnya jama'ah-jama'ah itu muncul disebabkan polemik politik. Namun jama'ah-jama'ah tersebut berkembang sampai menyentuh aspek fiqih.
Seperti; Khawarij berijtihad mengkafirkan pelaku dosa sekecil apapun, menjilid penzina baik yang sudah berkeluarga ataupun tidak, dengan alasan memakai dalil surat An Nur:2 dan mengabaikan hadits-hadits Nabi tentang perajaman penzina yang sudah berkeluarga, juga mereka berijtihad membolehkan wasiat kepada orang tua dengan memakai dalil surat Al Baqarah:180 dan menafikan hadits Nabi yang melarang memberi wasiat kepada ahli warits, dll.
Adapun Syi'ah mereka hanya menfsirkan ayat sesuai dengan visi mereka, mereka menolak pendapat diluar golongannya, mereka menolak Qiyas dan Mashalih Mursalah untuk dijadikan perangkat istinbath hukum, Nikah Mut'ah tidak dinasakh, dll.
Namun di sisi lain, masih ada kaum muslimin yang masih memegang teguh syari'at dengan berijtihad tidak keluar dari ranah-ranah syari'at. Mereka inilah yang dijanjikan Allah dengan syurga (lihat QS. At Taubah:100), juga yang disebutkan Nabi sebagai masa yang terbaik setelah masa sahabat7.
Pada masa ini dimulai dikumpulkannya hadits-hadits Nabi atas perintah Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz kepada Imam Az Zuhury, meskipun pengkodifikasiannya belum dikumpulkan secara per-bab. Hal ini dilakukan Khalifah demi menjaga Hadits-hadits Nabi dari bercampurnya dengan hadits-hadits Maudlu'.
Juga, muncul dua madrasah yang memiliki perangkat ijtihad yang berbeda. Yaitu Marasah Ahli Hadits, madrasah ini terletak di Hijaz yang diusung oleh beberapa Tabi'in diantaranya: Said bin Musib, Urwan bin Zubair Sulaiman bin Yasar dll. Mereka berpandangan bahwa di dalam Al Qur'an dan As Sunnah telah terdapat hukum-hukum, karenanya ra'yu tidak bisa dijadikan sebagai perangkat istinbath hukum.
Adapun madrasah Ra'yu terletak di Kuffah-Iraq dengan pengusungnya diantaranya: Al Harits Al A'war, Al Aswad bin Yazd, Masruq bin Amr As Salmani. Mereka berpendapat bahwa syari'at sarat dengan masuk akal, maka akal bisa dijadikan sebagai perangkat istinbath hukum.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Diwarnai oleh beberapa jama'ah yang mengusung keta'ashuban.
- Munculnya dua madrasah
- Munculnya perangkat istinbath hukum baru; Ijma', Qiyas dan Mashalih Mursalah. Meskipun madrasah Hadits menolak Qiyas dan Mashalih Mursalah
- Munculnya Fiqih Asumsi (Iftiradli) hasil pemikiran para Madrasah Ra'yu
- Referensi ijtihad pada masa ini adalah Al Qur'an, As Sunnah, Ijma' dan Ra'yu (Qiyas dan Mashalih Mursalah).
4. Fiqih pada masa para imam Mujtahidin
Setelah terjadi hiruk pikuknya golongan dalam tubuh Islam, sehingga tidak sedikit telah mewarnai ranah fiqih. Pada masa ini bermunculnya madzhab-madzhab fiqih dan pengkodifikasian khazanah ilmu-ilmu Islam, sehingga masa ini disebut juga sebagai masa kegemilangan fiqih. Atau disebut juga dengan masa Tabi'ut Tabi'in, dimulai dari awal abad ke-dua Hijriah sampai pertengahan abad ke-empat. Masa ini telah disebut-sebut Nabi dalam sebuah sabdanya "Berbahagialah bagi orang yang melihatku dan dia mengimaniku, juga bagi orang yang melihat orang yang pernah melihatku, serta orang yang melihat orang yang pernah melihat orang yang melihatku. Kebahagiaan dan tempat kembali yang baik bagi mereka" (Hadits hasan riwayat Hakim).
Meskipun fiqih sudah mulai dikodifikasi pada masa bani Umayyah, namun Ushul fiqih sebagai asas dari fiqih mulai dirangkum ke dalam satu kitab pada masa ini, sehingga dengan ini para mufaqqih dengan gampang dalam mengistinbath suatu hukum. Meskipun pada dasarnya metodologhy istinbath hukum ini sudah ada pada Nabi Muhammad, namun pada masa ini dirumuskan oleh Imam Asy Syafi'i dalam bukunya "Ar Risaalah".
Karakter fiqih pada masa ini:
- Mendapat sokongan secara penuh dari khalifah. Sehingga pada masa ini dituduh kaum pluralis "fiqih selalu digunakan oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya"8. Padahal tuduhan ini tidaklah benar, sebab pada masa ini pemerintah memang menaruh perhatian terhadap ilmu keislaman.
- Bermunculannya madzhab fiqih.
- Pengkodifikasian Ushul Fiqih, sehingga muncul juga istilah-istilah fiqih seperti; wajib, sunat, haram, mandub, mubah, makruh, syarat, rukun, sabab, dll.
- Berkembang kembali fiqih Iftiradli.
- Debatebel para ahli fiqih.
- Banyaknya qadli'ah mu'ashirah.
- Kebebasan berpendapat.
- Banyak menerjemahkan dan mempelajari ilmu-ilmu dan peradaban kuno
- Mengambil 'urf, istihsan, asyar'u man qablana, istishhab, dan saduddara'i sebagai perangkat istinbath hukum.
5. Fiqih pada masa rukud (stagnan) dan semi-taklid
Ini dimulai pada awal pertengahan abad IV H sampai 656 H. Dimana perjalanan fiqih pada masa ini mulai stagnan, karena ummat Islam pada waktu itu terbuai jiwa taklid. Sehingga peristiwa fanatisme golongan terjadi kembali, sebagaimana pernah terjadi pada masa pasca Tahkim. Bedanya, pada masa dulu didasari oleh polemik politik yang merembet pada permasalahan fiqih, sedangkan masa ini didasari oleh fanatisme madzhab fiqih.
Karakter fiqih pada masa ini:
- Pembelaan masing-masing madzhab.
- Study komparasi sekaligus pentarjihan.
- Lemahnya pemerintahan Abbasiah pada waktu itu, sehingga sokongan pemerintah kepada para fuqaha dalam meriset ilmu terabaikan.
- Munculnya ketidakpercayadirian para ulama dalam berijtihad.
- Merasa cukup dengan ijtihad-ijtihad ulama madzhabnya terdahulu.
- Pengkodifikasian fatwa-fatwa ulama.
- Menciptakan Qawaid Fiqhiah.
6. Fiqih pada masa mengentalnya taklid dan masa geliatnya fiqih kontemporer
Dimulai pada pasca keruntuhan Bagdad oleh pasukan Tatar (656 H) sampai saat ini, merupakan periode mengentalnya taklid mazhab-madzhab dan geliat fiqih kontemporer yang meriset fiqih klasik dan kekinian dengan manhaj studi komparatif.
Periode memuncaknya taklid buta terhadap madzhab-madzhab ini dimulai tahun 656 H, sampai awal abad ke-sepuluh hijriah. Ini terjadi karena Tatar membuang buku-buku di perpustakaan pusat Bagdad yang berjumlah ribuan atau mungkin jutaan ke sungai Dajlah, sehingga kuda-kuda mereka bisa melewati sungai yang besar dengan menjadikan buku-buku sebagai jembatannya. Maka, umat Islam pada waktu itu kehilangan referensi, atau bisa dikatakan peradaban Islam pada waktu itu luluh lantak.
Kemudian pada awal abad ke-sepuluh Hijriah sampai saat ini, fiqih kembali menggeliat. Ditandai dengan sadar akan pentingnya berijtihad, juga maraknya seminar-seminar dan komprensi internasional yang diadakan para ulama dalam mengistinbath hukum. Sebagaimana pada tahun 1384 H Rabithah Alam Islamy mengadakan seminar dengan membentuk Badan Kongres Fiqih, juga pada tahun 1937 M di Lahay diadakan Konferensi Undang-undang Komparatif dengan mengundang Syaikh Al Azhar, Musthafa Al Maraghi, sebagai pembicara. Para hadirin yang pada waktu itu yang kebanyakan non-muslim merasa takjub, ternyata Islam juga memiliki perangkat sosial-politik.
Fiqih Kontemporer
Para ulama saat ini menyadari akan pentingnya fiqih Islam, dalam menyelesaikan permasalahan umat manusia jaman ini. Karena hal ini juga dapat membuktikan kepada umat manusia, bahwa syari'at Islam itu integral dan selalu relevan dengan jamannya.
Fiqih yang dibutuhkan saat ini mesti berkaitan erat dengan objek yang dihadapinya, artinya fiqih beserta perangkat-perangkat istinbath hukumnya mesti mengenal objek ijtihad dengan bantuan ilmu-ilmu lainnya. Seperti dalam membahas hukum menambal selaput dara atau kloning, fiqih tidak dapat menghukuminya tanpa memahami objek dengan bantuan ilmu kedokteran, atau fiqih hendak merumuskan hak-hak asasi manusia yang dimana hal ini mesti memahami dahulu objek dengan kaca mata sosiologi, psikologi atau antrophology.
Juga, fiqih saat ini mesti menghadirkan penyampaian keputusan hukum yang lunak, agar umat tidak serta-merta melarikan diri dengan alasan memberatkan. Hal ini telah diusung oleh DR. Yusuf Qardhawi dengan mengemas fiqih dalam bentuk Fiqhul Aulawiyat (Fiqih Prioritas), dimana beliau mengawali sistematika fiqih dengan pembahasan sosial kemasyarakatan. Dan fiqih mesti melanjutkan pembahasan yang mencakup sosial kemasyarakatan dan politik.
Perangkat Fiqih
Fiqih dapat memiliki metode riset yang jelas dan tajam, dan metode ini disebut para ulama dengan Ushul Fiqih. Secara istilah ushul fiqih diartikan sebagai "Ilmu yang membahas kaidah-kaidah dan dalil-dalil umum, yang dapat menghantarkan pada pengistinbatan fiqih"9.
Yang dimaksud dengan kaidah di sini adalah, kaidah-kaidah luas yang mencakup partikel-partikel permasalahan. Sehingga seorang mujtahid dapat mengistinbath suatu hukum dengan melihat kaidah-kaidah tersebut. Misalkan dengan melihat kaidah yang berbunyi "Pada asalnya perintah menunjukkan suatu kewajiban", dan dipadankan dengan firman Allah yang berbunyi "Dirikanlah Shalat", seorang mujtahid bisa menyimpulkan bahwa hukum shalat adalah wajib.
Adapun yang dimaksud dengan dalil-dalil umum adalah, sandaran hukum-hukum syari'at. Sandaran hukum ini terbagi dalam dua bagian:
Pertama: Pembagian dalil dipandang dari sepakat dan tidaknya dalam menerima dalil-dalil sebagai sandaran hukum10:
1. Dalil-dalil yang disepakati seluruh umat Islam, yaitu: Al Qur'an da Sunnah.
2. Dalil-dalil yang disepakati jumhur (mayoritas) muslim, yaitu: Ijma'11 dan Qiyas12.
3. Dalil-dalil yang ulama berbeda pendapat dalam penetapannya, yaitu: 'Urf13, Istishhab14, Istihsan15, Mashalih Mursalah16, Syar'u man Qablana17 dan Madzhab Sahabi. Sebagian ulama mengatakan bahwa dalil-dalil ini dijadikan sandaran-sandaran hukum, dan sebagian lain menolaknya.
Kedua: Pembagian dalil dipandang dari Naql dan Ra'yu:
1. Dalil-dalil yang bersifat Naql yaitu: Kitab dan Sunnah. Kedua dalil ini mencakup; ijma', Madzhab Sahabi, Syar'u man Qablana.
2. Dalil-dalil yang bersifat akal yaitu: Qiyas yang mencakup; Istishhab, Istihsan dan Mashalih Mursalah. (juga termasuk Sadzudz Dzara'i-pen).
Madzhab-madzhab Dalam Fiqih
Telah dikatakan di awal, bahwa lapangan ijtihad terdapat dalam nash yang mempunyai dilalah dzhanni, juga dalam perkara-perkara baru. Sehingga hal ini membuat fiqih sarat dengan perbedaan pendapat, sedangkan pendapat-pendapat ini menjadi suatu madzhab ketika memiliki banyak pendukung.
Madzhab-madzhab fiqih ini diantaranya18:
1. Madzhab-madzhab Syi'ah: Az Zaidiah19, Imamiah Itsna'asyariah20 dan Isma'iliyyah21.
2. Madzhab-madzhab Khawarij: Al Azariqah22, Ash Shafriah23 dan An Najdaat24.
3. Madzhab-madzhab Ahlussunnah: Hanafiah25, Malikiah26, Syafi'iyah27, Hanabilah28, Dzahiriah, Al Auza'i, Hasan Bashri, Sufyan Ats Tsauri, Al Laits Ibn Sa'ad, Abu Tsaur, Ath thabari dan Ishaq bin Rahwiyyah.
Epilog
Syari'at Islam tidak terbatas oleh waktu dan tempat, juga tidak terpengaruh oleh budaya-budaya setempat. Namun, slogan syari'at ini akan dianggap omong kosong jika garapan fiqih direduksi sebatas ubudiah semata. Karenanya tugas kita saat ini adalah menggulirkan kembali roda ijtihad, sehingga fiqih dapat merambah sosial-kemasyarakatan dan politik.
In Urîdu Illal Ishlâha Mastatho’tu
1. (Qs. Al Baqarah:228)
2. DR. Abdul Karim Zaidan, Al Wajiz: fii Ushuulil Fiqhy, Beirut, 1996, Mu'assasah Ar Risaalah, h.8.
3. Prof.DR. Muhammad Abdul Fattah Al Banhawi, Taarikh At Tasyrii' Al Islaami, 2001, h. 17
4. DR. Abdul Halim Mahmud, Manhajul Ishlaahil Islaami fil Mujtama', cairo, Maktabah Al Usrah, h.34.
5. Prof.DR. Muhammad Abdul Fattah Al Banhawi, ibid.
6. Ali Ibn Abi Thalib mengutus Abu Musa Al 'Asy'ari, dan Mu'awiyah mengutus Amr Ibn 'Ash, untuk berunding mengenai kekhilafahan. Yang akhirnya kedua'anya sepakat menurunkan Ali Ibn Abi Thalib dari kekhilafahan dan mengembalikan kekhilafahan kepada rakyat.
7. Nabi bersabda: "Sebaik-baik masa adalah masa ku ini, kemudian masa berikutnya dan masa berikutnya"
8. Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta, Yayasan Wakaf Paramadina, 2004, h.8.
9. DR. Abdul Karim Zaidan, Op Cit, h. 11.
10. Ibid, h. 148.
11. Ijma' yaitu "Perkara yang disepakati umat Islam". Ijma' terbagi dua; Ijma' Sharih dan Ijma' sukuty
12. Qiyas yaitu "Menggabungkan perkara yang tidak ada nash yang menghukuminya, dengan perkara yang sudah ada nash yang menghukuminya. Dengan cara menggabungkan keduanya dalam satu 'illah hukum tersebut". Qiyas dibagi kedalam; Qiyas Aula, Qiyas Musawa dan Qiyas Adna..
13. 'Urf yaitu: "Perkara yang sudah menjadi biasa dalm kehidupan sosial, dan diimplementasikan dalam kehidupannya seara perbuatan atau ucapan"
14. Istishhab yaitu: "Menetapkan tetap suatu hukum jika pada awalnya tetap, atau menafikan hukum jika pada awalnya tiada"
15. Istihsan yaitu: "Membiarkan qiyas dengan mengambil dalil yang lebih kuat darinya, baik dari Kitabullah